Browse By

Tak Ada Hari Santri Tanpa Kemenangan Rakyat

Saat kiriman poster, upacara, dan sambut bahagia itu dirayakan, Israel tengah melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Jalur Gaza. Kebrutalan dan kekejaman diorkestrasi dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya sejak tahun 1948. Pengacara hak asasi manusia dan co-founder Jadaliyya, Noura Erakat, mengatakan dalam bukunya “Justice for Some: Law and the Question of Palestine” (2019) bahwa apa yang terjadi pada Palestina hari ini—selain kita mafhum bersama bahwa ia adalah buah dari kolonialisme dan fasisme—kian memburuk sebab “hukum internasional tidak hanya gagal mengatur pendudukan tanah Palestina, tetapi juga memberikan kerangka hukum bagi penjajahan yang terus meningkat.” Dukungan militer dan diplomatik pemerintah Barat juga semakin memperkuat posisi Israel dalam melakukan Nakba, penghancuran, pendudukan, pengusiran, serta penghapusan etnis oleh Israel kepada rakyat Palestina di tanah Palestina. 

Pada hari santri ini, kami menerjemahkan beberapa paragraf menengah-akhir dari tulisan Ali Ahmad di media revolusioner Arab bertajuk “Ala Hazihi Al-Ard Ma Yastahiqqu Al-Hayat”—judul yang diambil dari salah satu syair gubahan Mahmoud Darwish, penyair dan pengarang berkebangsaan Palestina—yang diterbitkan pada awal tahun ini, delapan bulan sebelum perang diumumkan oleh Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, pada 8 Oktober. Tulisan tersebut ditulis untuk merespon “every-day Nakba” yang tak kenal henti dilakukan oleh Israel. Satu hari menjelang valentine pada Februari lalu, tentara pendudukan Israel mengebom Gaza untuk mengingatkan rakyat Palestina bahwa Gaza masih dikepung.

**

Para sejarawan baru Israel mengungkapkan, berdasarkan dokumen-dokumen Israel yang dirilis pada tahun 1980-an, adanya sebuah rencana yang dikenal sebagai Rencana Dalet. Setelah mempelajari lebih dekat sejarah Nakba Palestina, Ilan Pappé menulis dalam bukunya “The Ethnic Cleansing of Palestine” bahwa pembentukan Negara Israel pada tahun 1948 merupakan sebuah episode pembersihan etnis yang telah direncanakan sebelumnya. Sekitar 850.000 warga Palestina terpaksa meninggalkan rumah mereka dan setengah dari desa dan kota mereka menjadi sasaran “penghancuran menyeluruh yang hanya menyisakan puing-puing, batu, debu, dan pembantaian” untuk meneror penduduk sebelum geng Zionis mendudukinya.

Hal ini berbeda dengan narasi umum yang mengatakan bahwa orang-orang Palestina menjual tanah mereka dengan suka rela pada Israel—padahal faktanya Badan Yahudi hanya membeli sekitar 5-7% dari keluarga-keluarga feodal—atau bahwa keluarnya orang-orang Palestina adalah atas permintaan tentara Arab yang memasuki Palestina. Ben-Gurion menyadari sebelumnya bahwa Negara Israel tidak dapat didirikan di atas setengah dari tanah yang diberikan kepadanya oleh PBB, dan itulah sebabnya rencananya selalu berupa deportasi total terhadap orang-orang Palestina (yang pada saat itu disebut orang Arab) ke negara mereka dengan melakukan pembersihan etnis serupa dengan yang terjadi pada kaum Yahudi di Jerman, yaitu dengan membakar desa, membunuh, membantai, dan meneror penduduk sebagaimana yang telah kami sebutkan sebelumnya.

Pemerintah Israel saat ini melihat perlunya mencaplok sisa tanah Palestina di Tepi Barat (West Bank) untuk mengamankan permukiman di dalamnya. Nakba adalah sebuah proses yang berkelanjutan dan bukan merupakan kejahatan di masa lalu. Israel masih menghancurkan rumah-rumah warga Palestina dan merampas tanah mereka untuk membangun pemukiman ilegal khusus bagi warga Yahudi Israel dan mendeportasi warga Palestina ke luar Yerusalem dengan membatalkan izin tinggal mereka. Ratifikasi Knesset Israel baru-baru ini terhadap kebijakan deportasi tahanan di Yerusalem dan di dalam wilayah Palestina ke Tepi Barat dan Gaza adalah bukti terbesarnya.

Perlawanan di hadapan kedua rezim kontra-revolusioner menambah sulitnya pembebasan dari pendudukan ini. Namun, dukungan serta pendirian gerakan-gerakan revolusioner dan nasional di kawasan Palestina serta kekuatan solidaritas yang hidup di seluruh dunia terhadap perjuangan rakyat Palestina adalah penting dan teramat dibutuhkan agar mereka mengetahui bahwa masih ada kekuatan yang memberi mereka harapan akan pembebasan dan menyulut semangat perjuangan untuk melawan dan bergerak menuju perubahan masyarakat yang lebih baik, terbebas dari penjajahan dan tirani, serta demokrasi yang mandiri.

Saya teringat sebuah cerita yang beredar tentang seorang pejuang di kamp Jenin yang dikepung tentara Israel menelepon temannya dan memintanya untuk menceritakan sebuah lelucon. Temannya terkejut dan berkata, “Bagaimana kamu akan tertawa ketika kamu dikepung dan mungkin menjadi martir?” Dia menjawab, “Karena aku mencintai kehidupan, aku ingin mengucapkan selamat tinggal padanya sambil tertawa.” Orang yang mencintai kehidupan dengan cara ini harus menang.

Seperti yang dikatakan Darwish:

“Di tanah ini, ada sesuatu yang layak untuk hidup: di tanah ini ada ibu

Bumi, ibu dari permulaan, ibu dari pengakhiran. Ia dipanggil Palestina. Ia dinamai

Palestina. Ibu: saya berhak mendapatkannya, karena Engkau ibuku, saya pantas mendapatkan kehidupan itu.”

**

Hari ini, resolusi jihad mari kita rebut kembali maknanya: pelajarilah masalah hari ini, mengorganisir diri, dan turut dalam barisan gerakan perjuangan rakyat nasional maupun internasional. Tak ada kejayaan dan perayaan yang dilangsungkan di tengah deraian air mata dan darah. Ala hazihi al-ard ma yastahiqqu al-hayat.

Tulisan tersebut sebelumnya diterbitkan di tautan berikut: https://revsoc.me/arab-and-international/45620/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *