Browse By

Jihad Santri Tolak Omnibus Law Cipta Kerja

بسم الله الرحمن الرحيم

Identitas kaum santri, secara sosial-antropologis, tak dapat lepas dari kehidupan rakyat-rakyat kecil. Mayoritas kaum santri lahir dari keluarga-keluarga petani dan nelayan di desa-desa terpencil. Hubungan yang berkelindan ini dalam perkembangannya menjadi simpul ideologis; yang dalam praktiknya, mendorong keberislaman kaum santri selalu berjangkar pada realitas material objekif rakyat-rakyat kecil di akar rumput. Dengan kata lain, keberislaman kaum santri tidak bisa direduksi hanya dalam bentuk adagium-adagium religiusnya, kitab-kitab kuningnya, atau khotbah-khotbahnya di mimbar-mimbar masjid.

Satu fakta yang selama ini nyaris jarang disinggung, bahwa keberislaman kaum santri sejatinya juga bergerak dalam ruang-ruang sosial yang sengit, yang penuh dengan konflik-konflik kekerasan, ketimpangan, dan ketidakadilan. Hal inilah yang menjadi titik tolak mengapa kaum santri dari dulu hingga hari ini tak pernah absen dalam membela hak-hak rakyat kecil, yang sejak dulu selalu diinjak-injak oleh kelas penguasa yang zhalim dan tidak amanah dalam menjalankan roda kepemimpinannya.

Hari ini, gerakan kerakyatan tengah mengalami tantangan baru yang semakin kompleks. Tantangan kerakyatan ini mewujudkan diri dalam problem-problem material di akar rumput: ketimpangan kelas, penindasan, ketidakadilan, diskriminasi, dst. Kita tidak bisa lagi menunggu peran pemerintah untuk menyelesaikan persoalan-persoalan material tersebut. Karena justru dalam situasi ini, pemerintah mengesahkan kebijakan-kebijakan anti rakyat. Kebijakan ini hadir dalam bentuk Undang-Undang, yang dikenal: Omnibus Law Cipta Kerja.

Sidang Paripurna DPR-RI pada 5 Oktober 2020 kemarin telah mengesahkan RUU Cipta Kerja tersebut. Rancangan Undang-Undang (RUU) yang disusun dengan metode Omnibus Law ini, memuat banyak klaster dan sub-klaster pembahasan, yang di dalamnya terdapat sekitar lebih dari 81 Undang-Undang dan lebih dari seribu pasal. Ada banyak pasal yang kontroversi dalam RUU tersebut, yang mensubordinasikan kepentingan rakyat-rakyat kecil, seperti buruh, petani, masyarakat adat, dst.

Sejumlah kritik dari berbagai elemen sipil lintas organisasi dan komunitas, menyangkut poin-poin krusial di UU Cipta Kerja tersebut tampaknya sengaja diabaikan oleh DPR-RI. Buktinya, Omnibus Law Cipta Kerja diam-diam tetap dibahas, hingga disahkan pada Sidang Paripurna beberapa hari yang lalu—meski di tengah situasi pandemi yang kian mencekam dan menelan banyak korban.

Proses pembahasan RUU Cipta Kerja yang berlangsung sangat tertutup, tidak transparan dan anti opini-opini publik, bahkan dengan cara-cara represif militeristik, menggarisbawahi satu hal: UU Cipta Kerja cacat demokrasi. Dengan kata lain, perumusan dan pengesahan RUU Cipta Kerja ini telah berseberangan dengan asas keterbukaan dalam UU No. 12 tahun 2011 tentang pembentukan perundang-undangan. Sekaligus juga mencederai spirit UUD 1945 pasal 28 tentang kebebasan untuk menyampaikan pendapat, berserikat dan berkumpul.

Dilumpuhkannya partisipasi publik dalam proses pembahasan dan pengesahan Omnibus Law Cipta Kerja ini membuktikan bahwa orientasi UU ini memang tidak berpihak pada rakyat. Sebaliknya, beberapa substansi UU Cipta Kerja, justru tampak lebih berpihak pada korporasi dan proyek-proyek investasi pemilik modal.

Jadi, Omnibus Law Cipta Kerja, yang kini hadir tepat di hadapan kita ini bukan untuk memfasilitasi problem-problem material kerakyatan agar segera terselesaikan, namun sebaliknya, justru semakin melegitimasi, menguatkan, dan semakin memberikan dasar konstitusional bagi proyek-proyek borjuistik status-quo dan korporasi, yang selama ini memang telah mengorkestrasi berbagai persoalan ekonomi-politik di akar rumput, seperti eksploitasi buruh, perampasan ruang hidup (land-grabbing), marginalisasi petani, dst. Maka dari itulah, Omnibus Law Cipta kerja, diakui atau tidak, kini menjadi tantangan baru bagi perjuangan rakyat-rakyat kecil, yang kedaulatannya sejak dulu diinjak-injak oleh tangan besi korporasi dan pemilik modal.

Untuk melihat secara rigid sejumlah persoalan-persoalan fundamental Omnibus Law Cipta Kerja, berikut kami pilah menjadi dua pembahasan spesifik:

1. Eksploitasi Kerja Buruh

RUU Cipta Kerja, justru sangat berpotensi dalam melanggengkan eksploitasi buruh. Asumsi ini bertolak dari sejumlah keputusan-keputusan egoistik pemerintah dan DPR-RI dalam perumusan RUU Cipta Kerja. Betapa tidak, melalui RUU Cipta Kerja, yang kemarin telah disahkan, durasi kerja lembur menjadi meningkat, yang awalnya 3 jam (dalam UU Ketenagakerjaan), menjadi 4 jam.

Tidak hanya itu, yang lebih ironi, RUU Cipta Kerja menghapus standar ketentuan upah minimum di sebagian sektor ketenagakerjaan yang ada dalam UU Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003. Artinya, melalui penghapusan regulasi ini, pengusaha atau korporasi nanti dapat memberlakukan upah di bawah standar minimum dengan penghitungan upah per-jam kepada buruh/pekerja. Jelas, mekanisme regulasi ini akan merugikan kaum buruh. Dan sebaliknya, justru menguntungkan bagi pengusaha dan korporat.

Selain poin-poin di atas yang telah disinggung, bukti lain yang dapat mengancam hak-hak kerja buruh, yakni dalam sektor syarat pekerja kontrak. Dalam RUU Cipta Kerja, menghapus pasal 59 UU Ketenagakerjaan. Konsekuensi penghapusan pasal ini tentu sangat berpotensi akan hilangnya batasan aturan antara pekerja dan pekerja kontrak. Dengan kata lain, perusahaan bisa dengan bebas mengubah status pekerja menjadi pekerja kontrak selamanya.

Di sini kita bisa melihat bahwa RUU Cipta Kerja memang lebih berpihak pada korporasi, dibandingkan kepada rakyatnya—yang menjadi buruh di berbagai perusahaan. Jadi dengan disahkannya RUU Cipta Kerja ini, hak-hak buruh banyak yang secara otomatis termarginalkan. Dengan kata lain, peluang eksploitasi buruh dengan adanya Omnibus Law Cipta Kerja ini akan terbuka semakin lebar.

Karena berdasarkan rancangan Cipta Kerja ini, posisi buruh memang tersubordinasikan di atas kepentingan-kepentingan egoistik dan eksploitatif akumulasi modal korporasi. Adapun pasal-pasal dalam RUU Cipta Kerja yang dapat mendukung dan memfasilitasi proyek ini adalah sebagai berikut: pasal 77A, Pasal 88C, Pasal 88B, Pasal 91 dan pasal 93 BAB IV Ketenagakerjaan.

2.Privatisasi Lingkungan dan Ruang Hidup

Selain dalam sektor buruh, pasal bermasalah dalam Omnibus Law Cipta Kerja juga dapat kita temukan dalam sektor bahasan lingkungan dan ruang hidup. RUU Cipta Kerja memberi kemudahan bagi setiap agenda korporasi dalam membangun proyeknya. Semangat regulasi ini tampaknya memang relevan dengan jargon-jargon pembangunan dalam rezim Jokowi-Ma’ruf, yang sejak dulu hingga hari ini memang menggelar “karpet merah” untuk proyek-proyek investasi skala global.

Kita tahu, justru melalui agenda-agenda pembangunan pemerintah, yang menyerap sejumlah investasi-investasi modal asing dan lokal itulah, problem-problem kerakyatan di akar rumput berlangsung dengan masif. Dengan kata lain, narasi-narasi pembangunan pemerintah telah berhasil melanggengkan sejumlah persoalan-persoalan material kerakyatan seperti: perampasan ruang hidup, privatisasi SDA, eksploitasi ekologis dst. Hadirnya Omnibus Law Cipta Kerja kini tentu saja semakin melegitimasi proyek- proyek borjuistik tersebut.

Omnibus Law Cipta Kerja memberi kemudahan bagi segenap korporasi dan perusahaan dalam merampas dan memprivatisasi tanah-tanah rakyat, melalui dalih investasi dan pembangunan. Hal ini tentu saja mengancam kedaulatan rakyat kecil seperti: petani, buruh tani, nelayan dan masyarkat adat. Hal ini terlihat nyata saat partisipasi dan akses masyarakat dihapus dalam UU Cipta Kerja. Artinya, masyarakat lokal/setempat tidak punya hak dalam mengajukan keberatan, penolakan, dan gugatan atas segala bentuk perizinan usaha. Hilangnya partisipasi masyarakat yang berusaha dipangkas ini persisnya dalam aspek penilaian AMDAL.

Selain itu, ketentuan izin lingkungan pasal 40 dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup atau Persetujuan Lingkungan dalam UU Cipta Kerja juga sudah dihapus. Konsekuensi atas dihapusnya izin lingkungan ini jelas pada satu sisi akan mempermudah korporasi dalam membangun usaha, sementara di sisi lain, melemahkan kontrol langsung terhadap lingkungan dari suatu kegiatan usaha.

Dengan kata lain, hilangnya partisipasi masyarakat dan dihapusnya izin lingkungan dalam UU Cipta Kerja ini, akan semakin memanjakan pengusaha dan korporasi untuk memprivatisasi lahan dan tanah-tanah rakyat kecil dengan mudah. Sekaligus menjadi bukti bahwa rezim yang kini kita hadapi, adalah rezim yang mendewakan pemodal, korporasi atau perusahaan.

Bentuk pendewaan pemerintah terhadap pemodal dan korporasi, selain di atas yang telah disebutkan, pemerintah, melalui UU Cipta Kerja ini tidak memberikan sanksi pidana sama sekali bagi korporasi yang melanggar izin usaha. Sementara bagi pengusaha yang tidak mengantongi izin usaha, hanya mendapatkan sanksi administratif. Fakta-fakta tentang lingkungan hidup yang penuh masalah ini dapat dilihat langsung dalam beberapa pasal berikut ini: pasal 24 (2 dan 3), pasal 82 dan pasal 82A.

Melalui dua poin pembahasan di atas ini kita dapat melihat bahwa dengan disahkannya Omibus Law Cipta Kerja akan semakin mengancam terhadap kedaulatan rakyat kecil di akar rumput; alih-alih diproyeksikan untuk mengembangkan agenda-agenda pembangunan negara, justru malah menjagal hak-hak rakyat kecil, petani, buruh, buruh tani, nelayan, dan masyarakat adat.

Tentu saja, kalangan santri tidak bisa bersikap kompromi pada UU Cipta Kerja ini. Karena kebijakan ini sudah bertentangan dengan semangat Islam yang rahmatan lil ‘alamin, sehingga, menyatakan sikap penolakan terhadap kebijakan ini menjadi jihad kaum santri yang hari ini pantas untuk kita perjuangkan bersama.

Maka dari itulah, kaum santri perlu menyerukan beberapa pernyataan sikap berikut ini sebagai jalan jihad yang kini harus ditempuh:

  1. Menolak Omnibus Law Cipta Kerja yang sudah disahkan oleh DPR-RI pada Sidang Paripurna, 5 Oktober 2020 kemarin
  2. Menyatakan mosi tak percaya kepada DPR dan Pemerintah RI
  3. Mengecam seluruh tindakan represif aparat pada massa aksi yang menolak Omnibus Law Cipta Kerja
  4. Mengajak kepada seluruh elemen santri untuk juga terlibat dalam jihad menolak Omnibus Law Cipa Kerja.

Demikianlah pernyataan sikap ini dibuat, kepada seluruh elemen kaum santri, dari berbagai Pesantren, silahkan tulis nama lengkap dan asal Pesantren melalui link http://bit.ly/DukungSuaraSantriTolakOmnibusLaw jika setuju dengan jihad menolak Omnibus Law Cipta Kerja ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *