FNKSDA MENOLAK TEGAS PENGESAHAN RUU OMNIBUS LAW CIPTA KERJA
“Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka, penglihatan mereka telah tertutup, dan mereka akan mendapat azab yang berat.” (Al-Baqarah: 7)
“Dan janganlah kamu menaati perintah orang-orang yang melampaui batas”(As-Syuara: 151)
Di tengah perjuangan menghadapi pandemi Covid-19, rakyat justru dipaksa kembali menelan pil pahit berupa pengesahan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law atau RUU Cipta Kerja. Meskipun terus mengalami tekanan dan protes dari berbagai elemen masyarakat, Pemerintah dan DPR RI tampaknya saling bahu membahu mengunci hati, pendengaran dan penglihatan demi diketokpalunya RUU kontroversial ini.
RUU Ciker digembar-gemborkan akan menjadi solusi bagi tingginya angka pengangguran di Indonesia, dengan cara mendorong penciptaan lapangan kerja sebanyak-banyaknya dan menghapuskan beragam hambatan investasi akibat tumpang tindihnya regulasi. Namun, berbagai kajian dari para ahli, praktisi, aktivis dan masyarakat sipil justru menunjukkan sebaliknya, bahwa RUU ini sama sekali tidak berpihak pada kepentingan rakyat, kaum buruh, petani, nelayan dan rakyat kecil lainnya.
RUU ini disinyalir hadir untuk melayani oligarki dan kepentingan pemilik modal, alih-alih keberlanjutan lingkungan hidup maupun kesejahteraan kelas pekerjaProses penyusunan dan pengesahannya pun juga terkesan dilakukan secara terburu-buru, tertutup, tidak transparan, serta tidak memberikan ruang bagi masyarakat sipil untuk berpartisipasi. Dengan dalih pandemi Covid-19, Jadwal sidang justru semakin dipercepat, beberapa kali juga di media daring ditemukan banyak kesimpangsiuran prihal jadwal Sidang Paripurna, kita dikelabui di depan hidung.
Padahal menurut UU No 12 tahun 2011, perencanaan dan penyusunan suatu RUU wajib mendorong keterlibatan masyarakat luas untuk dapat mempelajari, menyumbang saran dan memberi masukan, akan tetapi kenyataannya, draft RUU tersebut amat sulit diakses oleh publik. Dalam beberapa kali aksi massa, Pemerintah RI juga kerap mengerahkan aparat militer untuk membungkam suara-suara penolakan, hal ini tentu saja menciderasi nilai-nilai demokrasi di Negara ini.
FNKSDA merangkum beberapa muatan bermasalah dari RUU Ciker:
Sektor Buruh
RUU Cipta Kerja Pasal 78 (1b) waktu kerja lembur menjadi maksimal 4 jam dalam satu hari padahal di UU 13 th 2000 waktu kerja lembur maksimal 3 jam (ada penambahan waktu untuk lembur).Pasal 88B (1) upah ditetapkan berdasarkan satuan waktu dan/atau satuan hasil. Pasal ini memberikan peluang bagi pengusaha untuk memberi upah buruh per jam.
UU OL menghapus pasal 59 UUK yang mengatur tentang syarat pekerja waktu tententu atau pekerja kontrak. Bisa menjadikan tidak ada batasan aturan untuk seorang pekerja menjadi perkerja kontrak/bisa jadi kerja kontrak seumur hidup.Terdapat penambahan alasan perusahaan dalam mem-PHK buruh di pasal 154 (A), menjadikan posisi buruh semakin rentan terkena PHK.
Sektor Lingkungan Hidup
Di sektor lingkungan hidup terdapat deregulasi aturan khususnya menghilangkan fungsi pencegahan di UU PPLH. Deregulasi tersebut muncul dalam wujud persetujuan lingkungan, di mana dalam isinya tak lebih dari memfasilitasi perusakan lingkungan. Seperti:Pada pasal 24 (2,3), 25, 26, dan 27 AMDAL ditetapkan oleh pusat dan dalam pembahasannya tidak melibatkan masyarakat.
Meski dalam penyusunannya melibatkan masyarakat, namun pemrakarsa masih dapat menunjuk pihak lain, yang tentu saja tidak mengharuskan keterlibatan masyarakat di dalamnya. Pasal 25(c) menyebutkan bahwa AMDAL berisi salah satunya saran masukan serta tanggapan masyarakat terkena dampak langsung yang relevan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan.
Hal ini tentu sangat terbatas hanya di wilayah eksploitasi. Padahal bicara dampak lingkungan tentu tidak hanya terjadi di wilayah eksploitasi saja, karena ekosistem itu satu kesatuan.Pasal 82 Pemerintah hanya dapat memaksa penanggung jawab usaha untuk memulihan perusakan dan pencemaran lingkungan hidup yang dilakukannya, atau melimpahkannya ke pihak ketiga. Tidak ada sanksi pidana bagi pengusaha yang melanggar perizinan berusaha. Bahkan pengusaha yang tidak mengantongi perizinan berusaha pun hanya mendapatkan sanksi administrasi (pasal 82A).
Keputusan kelayakan lingkungan hidup diumumkan melalui sistem elektronik dan atau cara lain yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat (Pasal 39), padahal kita tahu sendiri tidak setiap daerah memiliki fasilitas elektronik yang memadai. Ini dapat mereduksi hak masyarakat atas informasi terutama yang menyangkut kehidupan merekaPasal 40 UUPPLH yang memuat ketentuan izin lingkungan dihapus. Ini memungkinkan tetap jalannya usaha meskipun izin lingkungannya telah dicabut.
Sektor KehutananKetentuan mempertahankan minimal 30% kawasan hutan berdasarkan daerah aliran sungai dan/atau pulau (Pasal 18 UU no 41/1999) dihapus. Sebagai gantinya, pemerintah berwenang menentukan luas kawasan hutan yang dipertahankan tanpa ada batasan minimal melalui PP, termasuk untuk wilayah yang terdapat proyek strategis nasional. Ini tentu semakin memprihatinkan sebab memberikan kelonggaran bagi pelaku ekstraksi hutan.
Sektor Pertanahan
Pasal 67 ayat 2 pelemahan peraturan mengenai kewajiban memelihara kelestarian lingkungan hidup bagi pelaku usaha dari yang sebelumnya diatur di UU menjadi diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pengaturan dalam PP dinilai lebih lemah dibandingkan UU. Selain karena hanya dibuat oleh satu pihak saja yaitu pemerintah, PP juga tidak dapat memuat sanksi pidana untuk pelanggaran berat yang merugikan publik.
Dalam hal ini salah satu perhatian adalah pada penyediaan sarana prasarana penanggulangan kebakaran hutan yang hampir setiap tahun terjadi di IndonesiaPasal-pasal tersebut menjadi cerminan paripurna mengenai orientasi dan keberpihakan RUU Ciker, yakni kepada Oligarki dan pemilik modal. Apa yang dilakukan oleh DPR dan Pemerintah RI adalah bentuk kedzhaliman dan penyelewengan dari tugasnya sebagai ulul amri bagi rakyat Indonesia.
Pengesahan RUU Cipta Kerja di tengah masa pandemi juga memperlihatkan ketidakpedulian pengurus negara akan musibah yang kini melanda negeri ini. Alih-laih mengarahkan priortas pada penanganan pandemi corona, Pemerintah dan DPR justru saling tolong menolong dalam menindas rakyat dengan mengeluarkan peraturan-peraturan yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk memastikan keselamatan dan kesejahteraan warga. Maka, masih adakah kepercayaan yang dapat kita sisakan untuk mereka memimpin Negara ini?
“Dan janganlah kamu menaati perintah orang-orang yang melampaui batas” (QS. As-Syuara: 151).
Maka dari itu Komite Nasional FNKSDA menyatakan sikap:
1. Menyatakan Mosi Tidak Percaya pada DPR RI maupun Pemerintah RI.Menuntut pembatalan RUU Cipta Kerja.
2.Mengecam dan mengutuk tindak kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian terhadap massa aksi.
3.Menuntut Pemerintah dan pihak aparat untuk tidak melakukan tindakan represif kepada massa aksi.
Kami menyerukan untuk semua elemen agar bersuara dan berjuang bersama dalam melawan kedzaliman negara, menyelamatkan demokrasi dan melawan oligarki.
Kami mengajak kawan-kawan anggota dan kader FNKSDA di manapun untuk ikut memperbesar gerakan massa rakyat dalam melawan kesewenang-wenangan ini. Mari lanjutkan perjuangan membela kaum mustadhafin!