Browse By

Kala Warga Samarinda Serukan Stop Tambang Lewat Hak Gugat Warga Negara

Oleh: 

Siang itu sekitar tigapuluhan anak muda berkumpul di ruas jalan M. Yamin, di depan gedung PN Samarinda. Di atas lampit yang digelar mereka memainkan musik habsysembari melafalkan syair-syair pujian. Sementara mereka yang di badan jalan membagikan kue bakpia, segelas minuman segar berisi serutan buah melon, selebaran dan stiker.

Siapa mereka? Mereka adalah bagian dari warga kota yang bergabung dalam Gerakan Samarinda Menggugat atau GSM. Kelompok ini menggunakan Citizen Lawsuit (CLS) atau gugatan warga negara, sebuah instrumen sah warganegara untuk menggugat kebijakan penyelenggara negara, yang dalam hal ini menyangkut permasalahan pertambangan batubara di kota Samarinda, Kalimantan Timur.

Pada tanggal 2 Juli 2014 yang lalu, sidang gugatan CLS ke-26 sendiri berlangsung tidak lama. Sidang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim, Sugeng Haryanto hanya berlangsung sekitar sepuluh menit. Dalam sidang itu ada dua pihak yang tidak menyerahkan berkas kesimpulan yaitu Kementerian Lingkungan Hidup dan DPRD Kota Samarinda.

Berkas kesimpulan yang diserahkan oleh pihak tergugat dan penggugat akan dipelajari oleh majelis hakim sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam sidang putusan. Sidang putusan sendiri rencananya akan digelar pada tanggal 16 Juli 2014.

“Kami telah menghadirkan dua saksi ahli, dua saksi korban, 38 bukti tertulis dan sejumlah bukti lain dalam bentuk audiovisual dan foto yang telah diserahkan selama persidangan. Maka kami yakin gugatan citizen lawsuit pertama di Kalimantan Timur ini akan kami menangkan,” tutur Merah Johansyah, koordinator GSM sekaligus Koordinator Jatam sembari menyatakan optimismenya bahwa GSM akan memenangkan gugatan itu.  Jika GSM memenangkan CLS, maka ini akan menjadi yang pertama di Indonesia.

“Bukti-bukti yang kita ajukan itu telah membantah apa yang diajukan oleh tergugat walikota Samarinda yang menyatakan mereka telah melakukan evaluasi tambang dan memberikan sanksi pada sembilan perusahaan tambang  termasuk didalamnya pencabutan izin”.

Perjalanan Lebih dari Dua Tahun Upaya Gugatan

Perjalanan panjang hingga sampai dengan sidang ke-26 dimulai dari pergulatan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim yang tekun dan bersikap kritis terhadap aktivitas pertambangan di Samarinda. Dalam kampanyenya Jatam selalu menyuarakan bahwa‘Batubara akan membunuh warga Samarinda’.  Seruan ini didasarkan pada kenyataan bahwa Samarinda adalah ibukota propinsi yang membiarkan dirinya di tambang.

Dalam catatan Jatam, 71,5% wilayah Kota Samarinda berada dalam penguasaan industri tambang batubara. Pemerintah baik daerah maupun nasional telah memberikan 58 IUP/KP (Ijin Usaha Pertambangan/Kuasa Pertambangan) dan 5 PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara), sehingga hanya tersisa kurang dari 25% untuk kepentingan publik.

Akibat tambang batubara sejak 2008 kota Samarinda tidak pernah luput dari bencana dan derita.  Banjir lumpur dan pencemaran di daerah Makroman dan Tanah Merah telah menyebabkan hancurnya area persawahan dan kolam warga dan rusaknya sumber air. Bahkan yang paling memilukan pada bulan Desember 2011, tiga anak meninggal di kolam tambang  yang tidak direklamasi.  Sekitar tujuh bulan kemudian, tepatnya di bulan Juli 2012, dua anak kembali menjadi korban kolam tambang yang dibiarkan begitu saja setelah ditambang.

Protes dan keberatan terhadap dampak tambang yang disuarakan oleh berbagai pihak tidak cukup mendapat respon yang memuaskan dari pemerintah kota. Jatam pun mengajak berbagai elemen masyarakat seperti LSM, Organisasi Mahasiswa, tokoh agama, akademisi, masyarakat korban  hingga budayawan untuk bersatu mengambil langkah bersama.  Dan pada tanggal 21 Januari 2012, bertempat di Gedung Bina Insan, Gerakan Samarinda Menggugat pun dideklarasikan. Deklarasi ditandai dengan diskusi, pembacaan puisi, pemutaran film dokumenter dan diakhiri dengan penandatanganan dukungan.

Setelah deklarasi, aksi GSM dibagi dalam berbagai kegiatan antara lain kuliah umum dan diskusi publik untuk memperluas dukungan, kampanye aksi untuk penutupan tambang di kota Samarinda, mendesak penghapusan wilayah usaha pertambangan dalam RTRWK Samarinda serta menuntut dibukanya uji akses dokumen amdal pertambangan batubara.

Perlu satu tahun lebih bagi GSM hingga sampai pada pengajuan gugatan CLS dapat dilakukan di PN Samarinda. Hingga sekarang tercatat 19 warga Samarinda yang berprofesi mulai dari petani, ibu rumah tangga, dosen, mahasiswa, rohaniwan, pekerja swasta dan pegiat LSM bertindak sebagai penggugat. Gugatan diajukan terhadap Pemkot Samarinda, DPR kota Samarinda, Pemprov Kaltim, DPRD Kaltim, Kementerian ESDM dan Kementerian Lingkungan Hidup.

Sidang pertama gugatan CLS dilaksanakan pada 29 Juli 2013, dan selama kurang lebih satu tahun, sidang demi sidang telah dijalani oleh GSM hingga sidang ke 26 yang dilaksanakan tanggal 2 Juli 2014. Rangkaian persidangan yang panjang itu diharap dapat dipungkasi pada tanggal 16 Juli 2014 dalam sidang penetapan keputusan atas gugatan CLS dari Gerakan Samarinda Menggugat.

 

Perjalanan Lebih dari Dua Tahun Upaya Gugatan

Perjalanan panjang hingga sampai dengan sidang ke-26 dimulai dari pergulatan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim yang tekun dan bersikap kritis terhadap aktivitas pertambangan di Samarinda. Dalam kampanyenya Jatam selalu menyuarakan bahwa‘Batubara akan membunuh warga Samarinda’.  Seruan ini didasarkan pada kenyataan bahwa Samarinda adalah ibukota propinsi yang membiarkan dirinya di tambang.

Dalam catatan Jatam, 71,5% wilayah Kota Samarinda berada dalam penguasaan industri tambang batubara. Pemerintah baik daerah maupun nasional telah memberikan 58 IUP/KP (Ijin Usaha Pertambangan/Kuasa Pertambangan) dan 5 PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara), sehingga hanya tersisa kurang dari 25% untuk kepentingan publik.

Akibat tambang batubara sejak 2008 kota Samarinda tidak pernah luput dari bencana dan derita.  Banjir lumpur dan pencemaran di daerah Makroman dan Tanah Merah telah menyebabkan hancurnya area persawahan dan kolam warga dan rusaknya sumber air. Bahkan yang paling memilukan pada bulan Desember 2011, tiga anak meninggal di kolam tambang  yang tidak direklamasi.  Sekitar tujuh bulan kemudian, tepatnya di bulan Juli 2012, dua anak kembali menjadi korban kolam tambang yang dibiarkan begitu saja setelah ditambang.

Protes dan keberatan terhadap dampak tambang yang disuarakan oleh berbagai pihak tidak cukup mendapat respon yang memuaskan dari pemerintah kota. Jatam pun mengajak berbagai elemen masyarakat seperti LSM, Organisasi Mahasiswa, tokoh agama, akademisi, masyarakat korban  hingga budayawan untuk bersatu mengambil langkah bersama.  Dan pada tanggal 21 Januari 2012, bertempat di Gedung Bina Insan, Gerakan Samarinda Menggugat pun dideklarasikan. Deklarasi ditandai dengan diskusi, pembacaan puisi, pemutaran film dokumenter dan diakhiri dengan penandatanganan dukungan.

Setelah deklarasi, aksi GSM dibagi dalam berbagai kegiatan antara lain kuliah umum dan diskusi publik untuk memperluas dukungan, kampanye aksi untuk penutupan tambang di kota Samarinda, mendesak penghapusan wilayah usaha pertambangan dalam RTRWK Samarinda serta menuntut dibukanya uji akses dokumen amdal pertambangan batubara.

Perlu satu tahun lebih bagi GSM hingga sampai pada pengajuan gugatan CLS dapat dilakukan di PN Samarinda. Hingga sekarang tercatat 19 warga Samarinda yang berprofesi mulai dari petani, ibu rumah tangga, dosen, mahasiswa, rohaniwan, pekerja swasta dan pegiat LSM bertindak sebagai penggugat. Gugatan diajukan terhadap Pemkot Samarinda, DPR kota Samarinda, Pemprov Kaltim, DPRD Kaltim, Kementerian ESDM dan Kementerian Lingkungan Hidup.

Sidang pertama gugatan CLS dilaksanakan pada 29 Juli 2013, dan selama kurang lebih satu tahun, sidang demi sidang telah dijalani oleh GSM hingga sidang ke 26 yang dilaksanakan tanggal 2 Juli 2014. Rangkaian persidangan yang panjang itu diharap dapat dipungkasi pada tanggal 16 Juli 2014 dalam sidang penetapan keputusan atas gugatan CLS dari Gerakan Samarinda Menggugat.

 

 

Dari Rusaknya Sumber Air Hingga Pernah Makan Korban

Seperti sebelumnya pernah dilaporkan oleh Mongabay Indonesia, warga merasa dalam permasalahan tambang di kota Samarinda, pemkot telah melakukan pembiaran (by obmission) berulang-ulang yang meyebabkan kerugian bagi warga kota.  Sebagai contoh apa yang dilakukan oleh CV Arjuna, salah satu dari perusahaan tambang batubara, yang telah berulangkali berjanji untuk melakukan jaminan pengadaan air bersih di kelurahan Makroman, Samarinda yang hasilnya nihil.

Warga yang kesal kemudian memblokir lintasan pengangkutan (hauling) batubara CV Arjuna pada bulan Februari 2014 lalu. Aksi tersebut berakhir setelah warga dan pihak CV Arjuna, disaksikan Camat Sambutan Siti Nurhasanah menyepakati lima hal. Diantaranya, tidak ada lagi pembuangan air dari tambang CV Arjuna langsung ke persawahan warga. Limbah dari tambang harus ditampung dengan menggunakan settling pond. CV Arjuna juga harus menormalisasi semua drainase warga sepanjang sekitar 7 Km per 3 bulan sekali. Normalisasi ini dapat dilakukan sendiri oleh CV Arjuna ataupun melibatkan warga sekitar.

Demikian pula perusahaan tambang di batubara tidak melakukan kewajiban reklamasi di bekas lubang galiannya. Terakhir pada bulan Mei 2014, seperti yang ditulis olehMongabay Indonesia, delapan orang bocah ditemukan meninggal karena tenggelam di lubang bekas tambang.  Kasus ini kemudian dibawa ke tataran hukum dan melibatkan laporan hingga ke tingkat pusat. Koalisi Peduli Korban Tambang Batubara melaporkan kasus ini kepada Presiden Republik Indonesia, Pimpinan DPR RI, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Komisi Perlindungan Anak Indonesia dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia.

Surat laporan tersebut ditandatangani LSM yakni Jatam Kaltim, LBH APIK Kaltim, Posko Pengaduan Korupsi SDA, WWF Kaltim, Yayasan Bumi Kaltim, Walhi Kaltim, Naladwipa Institut Samarinda, Mission Institute Samarinda, IMAPA Unmul, dan Pusat Kajian Kalimantan.

Selain itu, akademisi Unmul juga ikut menandatangani surat laporan itu, yakni Kepala Center For Climate Change Studies Unmul Prof Dr Dedy Hadrianto, dan dosen Fakultas Hukum Unmul Haris Retno Susmiyati, SH.MH, Herdiansyah Hamzah, SH.LLM, dan Warkatun Najidah, SH.MH.

Maraknya pertambangan di kota Samarinda pun mulai mengancam berbagai kawasan, termasuk Kebun Raya Universitas Samarinda (KRUS). Dari pantauan Mongabay Indonesia, terdapat lubang bekas tambang di sisi Lubuk Sawah dari KRUS dan pagar pembatas Unmul roboh karena runtuhnya pondasi. Warga sekitar menginformasikan perusahaan yang beroperasi adalah KSU Puma. Pertambangan juga merusak kebun dan pemukiman di kawasan Sungai Pinang Dalam Samarinda.

Pemerintah pusat pun tidak tinggal diam, seperti yang dikutip dalam mysamarinda.com(21/03/2014), Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Adnan Pandu Praja mengingatkan bahwa KPK tidak akan tinggal diam dan akan terus memantau perusahaan-perusahaan tambang batubara yang beroperasi di kota Samarinda.

“Nanti KPK datang lagi. Semua masalah harus selesai. Seharusnya pemerintah lewat dinas terkait dapat menegaskan masalah perizinan tersebut,” tegasnya.

Tulisan ini sebelumya dimuat di http://www.mongabay.co.id/2014/07/14/kala-warga-samarinda-serukan-stop-tambang-lewat-hak-gugat-kepada-pemerintah/. Dimuat ulang di daulathijau.net sebagai upaya pendidikan dan kampanye.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *