Ketika Warga Kendeng Mengharapkan Doa-doa Makbul para Kiai
Oleh: Ayu Rikza (Koordinator Nasional FNKSDA)
“Jika doa warga kendeng tak diterima, kami berharap doa para kiai dapat mengetuk hati PT Semen Indonesia agar berhenti menambang CAT Watu Putih.”—Warga Kendeng
Saya sampai di Rumah Budaya Lawang Ijo sekitar pukul 08.22. Terlambat hampir satu jam dari waktu acara dalam pamflet yang diedarkan oleh kawan-kawan Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JM-PPK). Di lokasi, warga Kendeng dari Pati dan Tegaldowo yang mayoritas perempuan telah berkumpul dan duduk di klasa hijau teras depan sebelah pintu masuk. Tak berselang lama dari kedatangan saya, warga Timbrangan pun menyusul hadir dalam acara “Istighosah dan Doa Bersama Para Kiyai Dan Masyarakat.” Gus Zaim, Gus Baehaqi, dan Gus Sholeh pun hadir di tempat acara sebagai perwakilan kelompok kiai.
Acara dibuka sekitar pukul 08.47—saya tak dapat mengingat tepat menitnya, yang pasti pukul Sembilan kurang. Gus Ghufron membukanya dengan bacaan Fatihah dan mempersilakan Joko Prianto, yang akrab disapa Kang Print (JMPKK), untuk memberikan pengantar acara. Kang Print menjelaskan latar belakang acara istigasah dan doa bersama ini adalah peringatan keputusan sidang peninjauan kembali Mahkamah Agung (MA) pada 5 Oktober 2016 yang memenangkan gugatan petani Kendeng.
Keputusan MA membatalkan izin lingkungan kegiatan penambangan dan pembangunan pabrik semen di Pegununungan Kendeng yang diterbitkan oleh Gubernur Jawa Tengah untuk PT Semen Indonesia pada tanggal 7 Juni 2012. Namun, gubernur Jawa Tengah selaku tergugat justru mengabaikan keputusan tersebut dan malah menerbitkan izin baru pada 9 November 2016 dengan dasar analisis dampak lingkungan (AMDAL) lama. Hanya tiga puluh lima hari sejak putusan itu dikeluarkan. Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yag merekomendasikan Pegunungan Kendeng ditetapkan sebagai kawasan lindung tak berarti di mata Bupati Rembang, Gubernur Jawa Tengah, dan pabrik semen.
Enam tahun berselang, PT Semen Indonesia tetap beroperasi 24 jam tanpa berhenti. Tak hanya PT Semen Indonesia yang melakukan aktivitas tambang, tetapi juga tambang-tambang tak berizin yang seringnya disalahpahami sebagai tambang rakyat. Padahal Cekungan Air Tanah (CAT) Watu Putih sudah jelas merupakan kawasan lindung dan wilayah sumber mata air. Artinya, tak ada tawar-menawar. Pilihannya hanya ada dua: melestarikan atau merusak.
“Jan-jane niki sing ora pas masyarakate, pemerintahe, napa penegak hukume? Mila, dulur-dulur sami kempal teng mriki nyenyuwun kalih para pinisepuh, mbuk menawa dungak’e awak dewe ngeniki ora diijabahi, mbuk menawa lewat Gus Zaim, Mbah Sholeh, lan sedulur-sedulur sedaya sing penegak hukume selama iki ora tegas dadi isa tegas. Pemimpine awak’e dewe mulai bupati, gubernur, kanthi presiden muga-muga tegas. Ya (jane) kudu tegas. Sing bener dibenerna. Sing salah disalahna.”—Kang Print
Setelah Kang Print menutup pengantarnya, Gus Ghufron melanjutkan ke acara inti, yakni istigasah dan doa bersama. Gus Ghufron membukanya dengan selawat “Ya Nabi Salam”, berlanjut istigasah yang dipimpin oleh Gus Sholeh, dan diakhiri dengan tahlil yang dipimpin oleh Gus Baehaqi. Di sela-sela doa tahlil, seorang ibu di samping saya menangis terisak-isak. Saya tak dapat bertanya apa yang menggundah di hatinya. Saya hanya mampu mengusap-usap pundaknya. Barangkali usapan itu dapat membuatnya lebih lega. Saya pun membatin, “Tuhan, gerangan kesedihan dan kegelisahan apapun yang menghuni hati dan kepalanya, saya percaya Engkau Maha Mengetahui, Maha Mendengar, dan Maha Adil.”
“Istigasah bermakna meminta tolong kepada Allah. Semoga para pemimpin kita diberi kesehatan, keadilan—sebagaimana hadis bahwa pemimpin harus adil sebab di antara mereka yang mendapat perlindungan pada hari kiamat nanti adalah imamun adilun. Acara ini merupakan istigasah untuk meminta tolong kepada Allah doa sekaligus syukuran atas putusan kasasi MA yang bersifat ‘in kracht’. Tak bisa diulik-ulik. Siapapun wajib melaksanakan. Ini adalah ulang tahun keenam, tetapi putusannya belum dilaksanakan oleh orang-orang yang terkait dengan masalah ini. Untuk itu kita mengingatkan mereka dan meminta Allah agar membuka hati mereka melaksanakan keputusan MA serta menyadari yang salah dan yang benar.”—Gus Zaim
Setelah istigasah usai, Gus Baehaqi mengisi mawaiz hasanah dengan nasihat utama penolakan terhadap segala kebijakan yang membawa madarat. Ia menekankan kembali bahwa maksud dari istigasah ini ialah ngereka-reka utawa ndepe-ndepe marang gusti Allah (berdoa kepada Allah) untuk membuka hati para pemimpin agar dapat membuat kebijakan yang betul-betul bijaksana dan sesuai dengan aturan yang sudah mereka tetapkan sendiri (red: keputusan MA). Gus Baehaqi menyambung dengan doa agar rakyat dikaruniai pemimpin yang menyayangi mereka.
“Allahumma la tusallit alaina man la yarhamuna. Ya Allah semoga kita tidak dipimpin oleh orang-orang yang tidak menyayangi kita. Agama ini adalah ajaran kasih sayang. Kasih sayang ini tidak hanya sesama manusia saja, tetapi juga kasih sayang kepada lingkungan. Manusia ini memiliki di antara beberapa sifat utama, yakni sifat jahat, rakus, dan sifat baik. Kita sebagai hamba Allah harus terus menerus berijtihad untuk menjaga sifat baik dalam hal ini adalah menjaga bumi. Di luar sana, para pemilik kekuasaan seringkali lalai. Mereka tidak menerapkan kebijakan berdasarkan kemaslahatan umat, tetapi lebih karena dorongan nafsu kerakusan atas nama kemajuan ekonomi dan pembangunan. Akhirnya lahirlah kebijakan yang mengizinkan pabrik semen di gunung yang seharusnya dilindungi hanya demi keuntungan produksi Pabrik Semen.”
Gus Baehaqi menyentil bahwa data yang ia dapat memperlihatkan bahwa pemerintah hingga sekarang belum menerima keuntungan dari saham mereka di pabrik semen. Hal itu kontras dengan operasi Pabrik Semen di Kendeng yang tampak jelas madaratnya: merusak lingkungan dan penuh pelanggaran HAM. Corporate Social Responsibility pun hanya apus-apus belaka. Warga yang bekerja di pabrik hanya menjadi buruh kasar yang bahkan pekerjaan tersebut pun tak mampu menjamin perekonomian mereka di masa tua. Jalanan rusak akibat truk-truk yang hilir mudik mengangkut hasil tambang. Operasi pabrik semen menurunkan hasil pertanian warga yang wilayahnya terdampak langsung serta krisis air di kala kemarau datang dan luapan banjir di kala hujan mengguyur kota. Pertanyaan retoris yang kemudian kita ajukan adalah: jika “pembangunan” menurut Gus Baehaqi merupakan amal saleh untuk rakyat, lalu jenis amal apa dari pembangunan yang hanya menguntungkan segelintir pihak dan justru sarat madarat ini? Inilah memang karakter asli pembangunan nasional kita: tak berpihak kepada rakyat dan tak peduli pada kelestarian lingkungan.
Gus Baehaqi mengajak para ulama dan lembaga agama untuk turut aktif mengurusi umat dan lingkungan. Ketidakmauan—Gus Baehaqi memakai kata “ketidakberanian”—pemerintah menegakkan keadilan dan korporasi yang mokong menjadi tembok besar yang harus dihadapi oleh rakyat. Ia pun memungkasi mawaiz-nya dengan dukungan kepada warga untuk berani melaporkan apapun intimidasi yang mereka alami kepada beliau sebagai koordinator bidang advokasi PCNU Lasem dan menguatkan perjuangan baik kawan-kawan dengan wasiat kesabaran dan keadilan Allah SWT.
Acara pun dilanjut dengan diskusi antara JM-PPK, LBH Semarang, dan beberapa undangan lain seperti Hartuti Purnaweni dari Universitas Diponegoro, Eko Teguh Paripurno dari Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta, dan Hotmauli Sidabalok dari Universitas Katolik Soegijapranata. Hampir dua jam diskusi berlangsung membahas langkah apa yang harus ditempuh kawan-kawan JM-PPK, kondisi aktual di Kendeng, dan kecacatan hukum di Indonesia. Saya tentu tak akan banyak membincang topik ini sebab tulisan ini tidak saya tujukan untuk mengupas penambangan semen di Kendeng pada level teoretis—alih-alih ini adalah catatan ringkas selama saya menghadiri acara tersebut.
Di tengah diskusi tersebut, warga Kendeng memutuskan pulang. Musim tandur membuat mereka tak bisa meninggalkan sawah terlalu lama. Beriringan mereka keluar Lawang Ijo, kegelisahan semakin menggelayut di hati saya. Selama bertahun-tahun perjuangan warga Kendeng dan sejak istigasah akbar diselenggarakan di Leteh 2015 lalu, mengapa hanya beberapa kiai saja yang akrab saya temui wajah dan suaranya dalam barisan perjuangan warga? Ke mana gawagis—bentuk plural untuk menyebut anak para anak kiai—dan kiai lain di kota santri ini? Bukankah salah satu gus yang dulu mengantar para Petani Kendeng longmarch menuju Semarang kini menjadi ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama? Apakah komitmennya masih sama untuk menolak pabrik semen? Di mana Bupati yang disokong oleh kelompok pesantren pada pemilihan lalu? Apakah ia masih berputar-putar melempar nasib gunung dan petani Kendeng ke tangan gubernur? Ke mana para santri yang selalu terlihat berjubel-jubel menghadiri gebyar selawat dalam perjuangan ini? Apa kabar gerakan mahasiswa Islam yang tegak mengepal tangan setiap aksi di depan kantor DPRD dan alun-alun itu?
Pabrik Semen di Pegunungan Kendeng adalah potret dari sekian aktivitas industri ekstraktif pertambangan yang lebih besar dan telah beroperasi selama dua dekade terakhir di Tahunan Sale, Pamotan, Watu Putih dan sepanjang Pegunungan Argopuro, Gunung Krapyak Kragan, pegunungan di Sedan, wilayah tambang batu kapur di Sendang Mulyo Sluke, Lodan, serta wilayah-wilayah lain di 11 dari 14 kecamatan yang diperuntukkan sebagai pusat kegiatan pengembangan pertambangan mineral logam, bukan logam, batuan, dan batu bara di Kabupaten Rembang. Agaknya tak cukup doa-doa makbul saja untuk meruntuhkan tembok besar kebebalan penguasa maupun untuk menghalau tsunami kerusakan alam di depan mata. Ikhtiar dan solidaritas seluruh kelompok rakyat menjadi syarat wajib untuk menghentikan sikap bandel pemerintah dan penambang yang selalu beralasan atas nama pembangunan, pendapatan daerah, dan kemajuan ekonomi. Setiap yang masih menapaki bumi harus menyadari bahwa pengrusakan alam adalah masalah setiap orang dan oleh karenanya tak ada nihayah dalam perlawanan ini kecuali berhentinya pengrusakan.
Selengkapnya baca juga rilis lengkap JM-PPk: Adakan Istighosah Bersama: JM-PPK Berharap Semen Indonesia Sadar dan Berhenti Menambang!