Browse By

Memaknai Maulid sebagai Spirit Pembebasan

Oleh: Fahri Fajar (Biro Agitasi dan Propaganda)

“Dan tidaklah kami mengutusmu (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.” (QS Al Anbiya ayat 107)

12 Rabiul awal dalam penanggalan Hijriah, atau bertepatan dengan tanggal 08 Oktober 2022 diperingati sebagai hari kelahiran Nabi Muhammad SAW yang biasa kita kenal dengan hari Maulid Nabi Muhammad SAW.

Maulid dengan segala perdebatannya telah mewarnai keberislaman kita sampai saat ini. Perbedaan pandangan mengenai maulid masih menjadi perdebatan dominan di kalangan umat muslim yang saling mengklaim benar dan salah. Tetapi bagi kalangan sunni sekitar beberapa abad yang lalu Imam Jalaluddin al-Suyuti mengatakan bahwa perayaan Maulid boleh dilakukan sebagaimana dituturkan dalam al-Hawi Li al-Fatawi, Juz 1, hal 251-252:

Ada pertanyaan tentang perayaan Maulid Nabi SAW pada bulan Rabi’ul Awal, bagaimana hukumnya menurut syara’. Apakah terpuji ataukah tercela? Dan apakah orang yang melakukannya diberi pahala ataukah tidak? Beliau Menjawab, “Jawabannya menurut saya bahwa asal perayaan Maulid Nabi SAW, yaitu manusia berkumpul, membaca al-Quran dan kisah-kisah teladan Nabi SAW sejak kelahirannya sampai perjalanan kehidupannya. Kemudian menghidangkan makanan yang dinikmati bersama, setelah itu mereka pulang. Hanya itu yang dilakukan, tidak lebih. Semua itu termasuk bid’ah hasanah. Orang yang melakukannya diberi pahala karena mengagungkan derajat Nabi SAW, menampakkan suka cita dan kegembiraan atas Nabi Muhammad SAW yang mulia.” (baca: Fiqhi Tradisional)

Dalam perjalanan hidup Nabi Muhammad SAW, terdapat berbagai macam keteladanaan baik dari segi ibadah dan muamalah. Kita ketahui bahwa Nabi Muhammad SAW diutus tidak hanya menjadi penghotbah risalah tauhid semata, tapi juga pelaksana spirit ke-tauhidan itu sendiri lewat revolusi sosial politik dan ekonomi yang lebih humanis dan berkeadilan.

Revolusi struktur sosial ekonomi dan politik Nabi Muhammad

Ketika Nabi Muhammad SAW lahir, masyarakat pra-Islam adalah masyarakat yang amat lekat dengan perdagangan dan sekaligus jalur perdagangan yang menghubungkan antara Kota Syam dan samudera Hindia, (Dr Badriatim MA, Sejarah Peradaban Islam). Kenyataan inilah yang membuat Makkah menjadi pusat munculnya korporasi di setiap klan yang menguasai dan memonopoli perdagangan sehingga muncullah budaya kapitalisme yang melahirkan kesenjangan dan kemiskinan. Kenyataan inilah yang ada di masa kelahiran Nabi Muhammad SAW, bahwa selain soal aqidah penyembahan berhala juga ada berhala yang lain yaitu berhala ekonomi yang menjadi sesembahan mayarakat Arab masa itu.

Di tengah situasi dan kondisi itu Nabi sendiri berada dalam lingkungan keluarga miskin, yang ikut merasakan eksploitasi yang dilakukan oleh para kapitalis Arab bersama dengan kaum yang dilemahkan (Mustad’afin) lainnya. Nabi Muhammad adalah seorang revolusioner sejati seperti yang diungkapkan oleh Muhammad Ahmad Khalfallah, bahwa beliau menolak kemapanan di kotanya yang telah dikuasai oleh orang kaya Makkah. Rumusan La ilaha Illa Allah dengan sendirinya sangat revolusioner dalam implikasi sosial-ekonominya. Nabi tidak hanya menolak berhala-berhala yang dipasang di Ka’bah tetapi juga menolak mengakui otoritas kelompok kepentingan yang berkuasa dan struktur sosial masyarakat di masanya.(Baca: Muhammad SAW & Marx)

Lewat cara radikal seperti itulah Nabi ditolak oleh penguasa Makkah, sehingga kompleksitas dakwah Nabi mulai dari keyakinan sampai pada tataran struktur sosial masyarakat menjadi sangat menghawatirkan penguasa arab karena ada konsekuensi kehilangan pamor dan kekuasaan lewat dakwah Nabi Muhammad SAW. Nabi menolak pemusatan kekayaan hanya pada segelintir orang, melakukan penimbunan harta untuk keuntungan pribadi yang secara logis menimbulkan kesenjangan sosial sehingga dalam hadits yang diriwayatkan Abu Daud beliau berkata, “Siapa yang menimbun makanan selama empat puluh hari, dengan maksud untuk menaikkan harga maka ia telah berlepas dari Allah, dan Allah juga berlepas darinya”.

Maulid Sebagai Landasan Perjuangan

Di masa Perang Salib, Maulid juga dijadikan sebagai spirit oleh prajurit Islam melawan ekspansi pasukan Salib dari bangsa Eropa, adalah Salahuddin Al-Ayyubi (Dinasti Ayyubiyah) yang selama kepemimpinannya hampir sebagian waktunya dihabiskan untuk menghadapi Perang Salib. Selama berkobarnya perang Shalahuddin menghimbau umat Islam seluruh dunia agar merayakan hari kelahiran (Maulid) Nabi Muhammad SAW karena di situasi saat itu umat Islam mengalami penurunan semangat juang sehingga Masjidil Aqsa berhasil direbut oleh pasukan Salib dan melakukan pembantaian besar-besaran. Salahuddin menginginkan agar semangat juang umat Islam dihidupkan kembali dengan cara mempertebal kecintaan kepada Nabi Muhammad. (Baca: Sejarah Terlengkap Peradaban Islam)

Fakta-fakta itulah yang mesti kita baca dan fahami dalam setiap perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW, sekligus menjadi landasan perjuangan kita (umat Islam) yang merayakan maulid agar senantiasa istiqamah dalam agenda-agenda perjuangan pembebasan kaum mustad’afin hari ini yang secara sosial ekonomi dan politik masih terhegemoni oleh kepentingan elit oligarki yang menghamba pada kepentingan kapitalisme neoliberal.

Selain memperbanyak salawat kepada Nabi Muhammad SAW, hendaknya Maulid Nabi tidak hanya menjadi seremonial semata tetapi di dalamnya ada spirit untuk melawan kezaliman dan struktur sosial masyarakat yang timpang seperti masa awal sejarah Nabi Muhammad SAW.

Wallahua’lam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *