KOLONIALISASI PEREMPUAN DALAM PEMBANGUNAN BENDUNGAN BENER PURWOREJO

Ayu Nuzul (FNKSDA Jombang)

Ekspresionline.com: Foto Wadon Wadas saat aksi kamisan

“ Yen ditambang ora iso ngibadah” sebuah poster tulisan yang dibawa seorang ibu dalam sebuah aksi bersama perempuan menolak pertambangan  dari desa Wadas Purworejo. Rencananya, wilayah ini ditetapkan sebagai Pertambangan Quarry Batuan Adesit  yaitu bahan material pembangunan bendungan yang direncanakan untuk menyuplai kebutuhan air YIA (Yogyakarta International Airport) yang masuk dalam proyek strategi nasional (PSN).[1]  

Menurut cacatan Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP) bendungan ini rencananya akan dibangun di kabupaten Purworejo dengan investasi anggaran sebesar 2060 triliun dari APBN dan APBD. Selain itu rilis laman portal resmi Pemprov Jawa Tengah bendungan ini akan menjadi bendungan tertinggi di Indonesia dengan tetapan luasan 550 ha, 295 ha di wilayah Purworejo, dan 265 masuk wilayah Wonosobo.[2]

Proyek pembangunan bendungan bener mendapat legitimasi melalui Keputusan Gubenur Jawa Tengah No 590/41 tahun 2018. Dalam prakteknya, Dhanil al Ghifari dari LBH Jawa Tengah menilai proyek ini melakukan penyelundupan hukum yang cacat secara administratif dalam penetapan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Dimana, tidak terlibatnya masyarakat dalam penyusunannya hingga keluar Izin Penetapan Lokasi (IPL),  apalagi perempuan sebagai pihak yang paling terdampak dalam setiap konflik agraria dengan wajah pembangunan. Selain itu, AMDAL bendungan dan AMDAL quarry dijadikan satu bertolajk belakang dengan dasar hukum Peraturan Menteri Lingkungan HIdup No  5 tahun 2012, yakni pemotongan bukit dengan besaran volume lebih dari 5000 m3 harusnya memakai AMDAL sendiri.[3]

Apalagi pasca disahkannya UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya menjadi jalan mulus alih fungsi lahan Proyek Strategis Nasional. Dalam PP no 26 tahun 2021 pasal 105 menyebut kepentingan umum  diantaranya adalah jalan umum, waduk, bendungan, irigasi, saluran airminum atau air bersih, drainase dan sanitasi, bangunan perairan, pelabuhan, bandar udara, stasiun dan jalan kereta api, terminal, fasilitas keselamatan umum, cagar alam, dan pembangkit dari jaringan listrik.

Vandana Shiva mengatakan, “globalisme menurut pandangan kapitalisme patriarki semata menjadi tujuan kapitalisme global untuk menguasai sumber-sumber alam dan pasar dunia”. “ Dimanapun proyek-proyek pembangunan dijalankan, pembangunan akan merampas tanah dan memutus ikatan batin antara masyarakat dan tanah”.[4] Dalam  proyek pembangunan bendungan bener di Purworejo wujud dari kolonisasi perempuan lebih tepatnya penjajahan perempuan.

Melalui perspektif ekofeminisme, penulis akan menelusuri bagaimana kolonisasi perempuan yang dilakukan negara sebagai kepajangtanganan kapitalisme global yang berwatak patriarkal. Bahwa kesejahteraan pembangunan adalah kamuflase. Mungkin hal ini bukanlah kajian baru, namun menurut penulis narasi perlawanan harus digaungkan untuk meruntuhkan kapitalisme patriarkal yang mengatasnamakan pembangunan.

Filosofi Bumi Wadas bagi Perempuan dan Desa Wadas

“Saya tani, jadi saya kerjaan saya cuma apa, nyadap karet, itu perharinya sudah menghasilkan uang pak, kalo nanati ditambang kita akan kehilangan semuanya, Pak. Karena tanah adalah dagingnya, air adalah darahnya, batu adalah tulangnya, pak. Kalau misalnya itu diambil salah satu, itu diambil akan hilang dan roboh, rusak semuanya. (Bumi Wadas) itu seperti manusia Pak, manusia ndak ada dagingnya, ndak ada darahnya, ndak ada tulangnya tidak bisa hidupsama sekali, Pak”. Demikian kalimat pernyataan salah satu perwakilan ‘Wadon Wadas’ yang terdiri dari perkumpulan perempuan desa Wadas Purworejo, yang tergabung dalam organisasi Gerakan Masyarakat Peduli Alam (Gempa Dewa)  ketika melakukan audiensi di Polres Purworejo pada 4 Maret 2021.[5] Pernyataan ini menjadi makna filosofis bagaimana bumi wadas bukanlah suatu komoditas yang cukup dinilai dengan ganti rugi ketika proyek pembangunan datang, hendak menggusur ruang hidup yang ditempati manusia yang terikat dengan lingkungan sosial, alam, dan membentuk sebuah budaya. Disana ada kehidupan manusia, yang menggantungkan hidupnya pada alam.

Wadas banyak ditumbuhi berbagai macam komoditas tanaman mulai dari kopi, rempah-rempah, kelapa keeling, mahoni, aren, akasia, pisang, karet, cabai, kemukus, durian, petai, vanili, sengon, dan masih banyak lagi. Ini membuktikan bahwa tanah di Wadas sangat subur. Klaim Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Serayu Opak sebagai pemrakarsa proyek pembangunan Bendungan Bener yang dialamatkan untuk desa Wadas sebagai bumi yang gersang jelas terbantahkan.

Mengapa Wadon Wadas menolak pembangunan Bendungan Bener?  filosofi bumi Wadas bagi Wadon Wadas mengimplikasikan bahwa keberlangsungan alam wadas diibaratkan seperti tubuh yang tidak bisa disakiti salah satu organnya. Jika bumi Wadas dikeruk, bagian dari alam lain otomatis rusak. Desa Wadas berada di daerah pegunungan sehingga potensi lonsor lebih tinggi. Kelik Ardani DPRD Purworejo menyatakan,” kebencanaan di Purworejo termasuk dalam kategori tinggi akan potensi longsor”. [6]  bahkan, dari data hasil penelitian identifikasi kerentanan dan sebaran longsor lahan sebagai upaya mitigasi bencana di Kecamatan Bener Kabupaten Purworejo yang menunjukkan bahwa klasifikasi tingkat kerentanan longsor di desa Wadas termasuk kategori rata-rata tinggi.[7] Dalam RTRW Kabupaten Purworejo tahun 2011-2031 desa Wadas yang masuk dalam Kecamatan Bener disebutkan sebagai kawasan rawan bencana tanah lonsor. Menurut catatan WALHI Jogja tambang quarry atau penambangan terbuka (dikeruk tanpa sisa) yang direncanakn berjalan selama 30 bulan dengan cara dibor, dikeruk, dan diledakkan menggunakan 5.300 ton dinamit atau 5.280.210 kg, hingga kedalaman 40 meter. Target tambang ini 15,53 juta meter kubik material batuan adesit untuk Bendungan Bener. Kapasitas produksinya tiap bulan diperkirakan mencapai 400.000 meter kubik.[8]

Dari uraian data-data tersebut adalah fakta jika pembangunan Waduk Bener dilanjutkan, yang terjadi adalah bencana bagi bumi Wadas. Bukit dikeruk akan menyebabkan kerusakan bentang alam. Dengan kata lain, pertambangan berarti pengusiran warga dari ruang hidupnya. Otomatis menyingkiran perempuan.  karena ketika terjadi bencana, perempuanlah yang paling merasakan dampaknya, baik dari segi lingkungan, sosial, maupun ekonomi. Untuk kebutuhan hidup sehari-hari, terancam kehilangan air sebagai nafas kehidupan. Padahal sejak bangun tidur sampai tidur lagi perempuan banyak membutuhkan air. Mulai dari urusan dapur, tanaman, hingga aktivitas beragama. Maka kalimat “yen ditambang ora iso ngibadah” benar-benar akan terjadi. Selama ini aktivitas keagamaan di desa Wadas menjadi bagian dari kehidupan sosial warga. Dengan tegas Shiva menyebut pembangunan adalah sebuah agama baru “yang memberikan rasionalitas bagi pemodernisasian negara, birokrasi, dan teknokrasinya.

Pembangunan dan Kolonisasi Perempuan

Andre Guntur Frank, Samir Amin, Johan Galtung, menilai “kemiskinan negara miskin bukanlah merupakan akibat dari keterlambatan yang ‘alamiah akan tetapi konsekuensi langsung dari pembangunan tanpa batas dari negara industri kaya yang mengeksplorasi apa yang disebut negara pinggiran di Afrika, Amerika Serikat, dan Asia.[9] Sebagaimana diketahui, pembangunan di dunia ketiga adalah program  lembaga keuangan global melalui \skema hutang yang diwujudkan dalam berbagai pembangunan infrastruktur mulai dari jalan, bandara, bendungan, dan infrastruktur lain yang mendukung perputaran sirkuit kapital. Dimana bahan baku dan tenaga kerja yang menunjang terlaksananya pembangunan tersedia secara melimpah, sebab tak dihitung ongkos kerusakan lingkungan. Logika akumulasi pada hari ini dapat dilihat dalam wujud konsesi, wilayah Indonesia telah dikotak-kotak semacam wilayah koloni baik HGU, konsesi tambang, atau  hutan tanaman industri. Desa Wadas ditetapkan sebagai kawasan penyedia bahan baku pembangunan Bendungan Bener. Sebuah solusi yang ditawarkan negara pemodal global untuk menjaga ketersediannya air pasca dibangunnya YIA. Artinya satu pembangunan akan dilanjutkan pembanguna lain, satu krisis lingkungan akan muncul krisis lingkungan lain. Mies menegaskan, negara dunia ketiga semakin tergantung dengan negara pemodal global. “hubungan kolonisasi yang serupa terjadi antara manusia dan alam, laki-laki dan perempuan, perkotaan dan perdesaan. Mies dan Shiva menyebutnya, kolonisasi orang kulit putih. tak pelak, relasi ini memerlukan kekerasa dan kekuasaan.

Dapat disimpulkan bahwa pembangunan Bendungan Bener adalah wujud dari sebuah kolonisasi (penjajahan) yang termanifestasi dalam wujud pembangunan. Pembangunan dalam praktiknya selalu merusak alam. Ketika alam rusak, perempuan yang paling menanggung keberlangsungan kehidupan. Baik secara sosial seperti pemiskinan karena hilangnya ruang hidup yang merampak ke dampak ekonomi, kesehatan reproduksi perempuan pun rentan sebab ancaman lingkungan yang sehat dan ketersediaan kebutuhan hidup dan obat-obatan dari desa Wadas terancam musnah. Kemukus dikenal sebagai tanaman obat setelah persalinan banyak dihasilkan dari desa Wadas. Air untuk hidup sehatri-hari akan hilang. Maka pembangunan Bendungan Bener adalah kolonisasi terhadap perempuan. Maka upaya yang dilakukan Wadon wadas menolak pembangunan ini harus didukung semua pihak, sebab ini bukan isu wilayah. Jika satu wilayah dibangun akan muncul pembangunan lagi artinya kerusakan ini akan terus-menerus terjadi.       


[1] https://www.instagram.com/p/CLYPbwhnszx/?igshid=101wnbxan4bfr diakses pada 15 April 2021

[2] https://kppip.go.id/proyek-strategis-nasional/p-proyek-bendungan-dan-jaringan-irigasi/bendungan-bener/ diakses pada  10 April 2021

[3] https://persmaporos.com/maladministrasi-proyek-pembangunan-bendungan-bener-dan-rencana-penambangan-kuari-di-desa-wadas/ diakses pada 10 april 2021

[4] Shiva, Vandhana dan Maria Mies.2005. Ecofeminism (terj). Yogyakarta: IRE Press, hal 126

[5] https://youtu.be/BIw0jk9ioQ4 diakses pada 13 April 2021 pukul 23.21

[6] Ancama Bencana di Purworejo Tinggi, Purworejo Express 13 Februari 2021

[7] M. Nursa’ban. 2010.  Identifikasi Kerentanan dan Sebaran Longsor Lahan sebagai Upaya mitigasi Bencana di Kecamatan Bener kabupaten Purworejo, Jurnal Geografi Gea, 10(2)

[8] https://instagram.com/walhijogja?igshid=7mjk97zqll8f diakses pada 16 april 2021

[9] Shiva dan Mies, hal 64

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *