RUU Pertanahan, Kebijakan yang Dipaksakan
Adetya Pramandira (FNKSDA Semarang, PMII UIN Walisongo dan Pers Mahasiswa Justisia)
Undang-undang No 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria sebagai undang-undang pertama yang mengatur tentang agraria, bertujuan menghapus undang undang kolonial yang cenderung menyengsarakan rakyat. Undang-undang ini terbentuk untuk mengatur, mengelola dan mengalokasikan segala sumber daya baik air, tanah dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk kemakmuran rakyat.
Negara sebagai kekuasaan tertinggi perwakilan rakyat harus mengusahakan sumber-sumber kekayaan alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, penguasaan tanah yang melampaui batas serta monopoli sumber daya oleh segelintir golongan harus dihindari.
UUPA 1960 sebagai peraturan pokok harus mempunyai undang-undang turunan dan regulasi khusus sesuai dengan amanat dalam UUPA itu sendiri. Hadirnya Rancangan Undang-undang (selanjutnya disebut RUU) pertanahan yang sedang digarap dan diupayakan untuk disahkan September nanti, adalah usaha untuk melengkapi peraturan yang belum tedapat dalam UUPA sehingga perlu untuk di apresiasi. Sebagai undang-undang pelengkap dan penyempurna undang-undang ini, harus tetap mengacu kepada UUPA sebagai ilham dari pembentukan RUU pertanahan tersebut. Pasal demi pasal pun harus tetap selaras dan sejalan dengan visi UUPA.
Namun, dalam draft yang dikeluarkan panitia kerja RUU Pertanahan DPR RI per 22 Juni 2019 yang lalu belum mengakomodir penyelesaian krisis agraria. Justru, RUU ini jauh dari semangat yang dibawa oleh UUPA itu sendiri, serta jauh dari prinsip-prinsip keadilan agraria dan keadilan ekologis.
Jauh dari Penyelesaian Persoalan Agraria
Konsorsium pembaruan agraria (KPA) mencatat terjadi 410 konflik agraria selama 2018. Sepanjang tahun lalu konflk agraria yang terjadi mencakup luas wilayah 807.177,6 hektar dan melibatkan sedikitnya 87.568 kepala keluarga. Posisi tertinggi konflk agraria disumbang oleh pembangunan di sektor perkebunan dengan jumlah 144 kasus dengan 83 kasus, atau sekitar 60% terjadi di sektor perkebunan sawit. Selanjutnya disusul oleh sektor properti sebanyak 137 kasus, sektor pertanian 53 kasus, pertambangan 29 kasus, kehutanan 19 kasus, infrastuktur 16 kasus dan yang terakhir sektor pesisir atau kelautan sebanyak 12 kasus (sumber : katadata.co.id).
Dari banyaknya kasus yang terjadi, setidaknya terdapat lima krisis agraria yang menjadi pemicunya. Pertama, ketimpangan struktur agraria yang tajam; kedua, maraknya konflik agraria strukural; ketiga, kerusakan ekologis yang meluas; keempat, laju cepat alih fungsi tanah pertanian ke non pertanian; dan yang kelima, kemiskinan akibat struktur agraria yang menindas.
Dari kelima krisis agraria ini, sebagian besar penanganan yang dilakukan sebatas legal formal, kesalahan izin prosedural yang menjadi sorotan misalnya. Tanpa melihat adanya kesalahan yaitu penempatan lahan bukan sebagai fungsi sosial tetapi sebagai komoditas. Sehingga dalam penyelesainnya banyak ketimpangan-ketimpangan dan ketidakadilan.
Pun dengan rancangan undang-undang pertanahan ini, sebagian besar hanya menegaskan bagaimana sumber-sumber agraria, tanah utamanya adalah di bawah kekuasaan negara dan negara sebagai perwakilan yang menguasai ataupun berwenang mengatur, mengelola dan mendistribusikannya sesuai dengan ketentuan penyelenggaraan tata ruang dan wilayah. Sebagaimana dimuat dalam pasal 6 ayat 1 huruf a RUU Pertanahan, bahwa rencana penggunaan, pemanfaatan, penyediaan, dan pemeliharaan tanah sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah. Juga termaktub dalam pasal 6 ayat 2 huruf d, bahwa pemberian izin penggunaan dan pemanfaatan tanah sesuai dengan rencana tata ruang wilayah. Hal tersebut tentu berpotensi menghambat reforma agraria karena disribusi tanah harus sesuai dengan tata ruang wilayah yang ditentukan oleh pemerintah.
Selain itu RUU Pertanahan ini tidak merombak ketimpangan struktural tanah yang selama ini terjadi dan menimbulkan kemiskinan. Dalam RUU ini tidak membahas bagaimana regulasi atau kebijakan atas banyaknya penguasaan tanah yang tumpang tindih, penguasaan tanah oleh rakyat dengan negara, rakyat dengan pengusaha atau korporasi misalnya. Tidak memberikan penjelasan bagaimana tanah yang melebihi batas maksimum (yang sesuai dengan UUPA) dapat dijadikan objek Tanah Objek Reforma Agraria (TORA). Dalam undang-undang ini justru memberikan peluang yang lebih terhadap terjadinya monopoli dengan tidak memberikan batas maksimum secara tegas dan jelas terhadap pemilikan tanah.
Kemungkinan Terjadinya Korporatisasi dan Memperluas Investasi
Pada dasarnya badan hukum tidak dapat mempunyai hak milik atas tanah, kecuali yang ditetapkan oleh pemerintah (pasal 21 ayat 2 UUPA). Pemberiaan hak pengelolaan telah memberikan kesempatan yang luas bagi pihak-pihak tertentu seperti instansi pemerintah, pemerintah daerah, pemerintah desa, badan uaha milik negara (BUMN) dan badan usaha milik daerah (BUMD) untuk memperkerjakannya dengan sektor privat atau pihak ketiga sesuai dengan pasal 6 ayat 3. Hal ini tentu bertentangan dengan prinsip anti monopoli dan anti akumulasi yang terdapat dalam UUPA (khususnya pasal 10 ayat 1, pasal 13 ayat 2, pasal 21 ayat 2.
Dalam rancangan undang-undang ini juga memungkinkan tumpang tindih penguasan tanah dan pengalokasian tanah dengan diberlakukannya bank tanah. Bank tanah juga dapat memperluas fungsi tanah sebagai barang komoditas yang dapat memperparah ketimpangan dan konflik. Pasal 33 ayat 2, pasal 38 ayat 2, pasal 44 ayat 2 dan pasal 46 ayat 1, juga memberikan peluang terjadinya investasi secara besar-besaran. Dalam beberapa pasal RUU ini mengakomodasi perkebunan dan invesasi bisnis skala besar sehingga memungkinkan terjadinya monopoli oleh swasta, tentu akan melangengkan perampasan dan penggusuran yang sistematis.
Dari banyaknya segi kekurangan yang cenderung tidak menyasar kepada penyelesaian persoalan agraria yang sesungguhnya. Maka pembuatan RUU ini terkesan dipaksakan dan serampangan. Tidak melalui jajak pendapat publik dan pelibatan intansi, akademisi serta aktivis yang terlibat juga menjadi kekurangan dar RUU ini. Karena bagaimanapun juga persoalan yang terdapat dalam RUU ini melibatkan banyak sekali kasus kemanusiaan, pelanggaran HAM, lingkungan, ekonomi dan sosial. Sehingga perlu untuk mendapatkan masukan dari berbagai elemen. Kajian yang perlu dimatangkan dan pasal yang perlu untuk disesuaikan, guna menghindari terjadinya kasus yang tak terduga dan berkepanjangan. Maka alangkah baiknya RUU ini dikaji ulang dan jangan dulu disahkan.