Browse By

Tegakkan Kedaulatan Rakyat Ciptakan Keadilan Reforma Agraria Sejati di Jember

Satu dekade lebih setelah Indonesia merdeka yang diproklamasikan oleh Ir. Soekarno dan Hatta, melahirkan Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – pokok Agraria yang dicatat dalam lembaran Negara 1960/104 dan tambahan lembaran Negara No. 2043. Undang-undang ini merupakan tonggak sejarah dalam perjalanan kedaulatan agraria bangsa indonesia. Mengingat ketentuan dasar mengenai agraria sangat menentukan perjalanan kedaulatan Negara Republik Indonesia, dengan berlakunya UUPA tersebut ketentuan mengenai agraria peninggalan kolonial dinyatakan sudah tidak berlaku alias dicabut.

Termasuk di dalamnya ialah Domein Verklaring dan beberapa Pasal peninggalan Hindia Belanda yang merugikan dan masih berbau kolonialisme yang tidak sesuai dengan falsafah negara yakni Pancasila. Jiwa dari pembuatan UUPA 1960 adalah UUD Republik Indonesia 1945, khususnya pasal 33 yaitu memberikan sebesar – besarnya kedaulatan atas sumber daya alam untuk kemakmuran rakyat yang diartikan sebagai semangat luhur dalam pemanfaatan bumi, serta kandungan di dalamnya yang di artikan sebagai tanah. Tak lupa juga pemanfaatan yang bertanggung jawab, menjaga keserasian ekologis untuk keberlanjutan kehidupan.

Selama kurun waktu 59 tahun diundangkannya UUPA banyak sekali ketimpangan yang terjadi, dalam kenyataannya hingga sekarang masih terjadi tumpah tindih pengaturan tentang pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam. Termasuk tanah di dalamnya sehingga menimbulkan konflik – konflik sosial yang cenderung melemahkan masyarakat yang merasakan ketidakadilan dan tentu tidak ramah lingkungan.

Dalam sejumlah konflik – konflik yang terjadi sering kali mencuat dikarenakan diberikannya izin dan konsesi oleh Negara kepada pemilik modal di beragam sektor sumber daya alam. Hanya demi eksploitasi dan menghilangkan hak masyarakat setempat atau lebih sederhana bahwa sering kali konflik yang terjadi karena pengadaan tanah lebih besar diperuntukkan lalu diperuntungkan kepada investor (perusahaan) daripada untuk rakyat.

Monopoli kekayaan agraria terjadi hampir di semua sektor kehidupan rakyat. Dari seluruh wilayah daratan di Indonesia, 71 % dikuasai korporasi kehutanan, 16 % oleh korporasi perkebunan skala besar, 7 % dikuasai oleh para konglomerat. Sementara rakyat kecil, hanya menguasai sisanya saja. Dampaknya satu persen orang terkaya di Indonesia menguasai 50,3 % kekayaan nasional, dan 10 % orang terkaya menguasai 7 % kekayaan nasional. ( Sumber : SPI ).

Di tengah mandek dan biasnya pelaksanaaan perundang – undangan tentang tanah. Perampasan dan kriminalisasi petani justru semakin marak terjadi. Dari tahun 2015 hingga 2016, telah terjadi sedikitnya 702 konflik agraria di atas lahan seluas 1.665.457 juta hektar dan mengorbankan 195.459 KK petani (KPA, 2015 dan 2016).

Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria (TPPKA) yang dibentuk sejak 2016 lalu, secara keseluruhan menerima 666 laporan kasus konflik agraria yang mencakup lahan seluas 1.457.084 hektare, sedikitnya 176.132 kepala keluarga terdampak. Artinya, dalam satu hari telah terjadi satu konflik agraria di tanah air. Sementara, dalam rentang waktu tersebut sedikitnya 455 petani dikriminalisasi atau ditahan, 229 petani mengalami kekerasan atau ditembak, dan 18 orang tewas.

Sementara dalam catatan terbaru Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dari tahun 2015 – 2018 terdapat 1.771 konflik agraria dengan kasus terbanyak yakni 642 kasus dari sektor perkebunan. Konflik perkebunan ini juga melibatkan perusahaan negara dan swasta dengan rincian 127 kasus pada (2015), 162 kasus (2016), 208 kasus (2017), dan 114 kasus (2018). (sumber : KPA). dari jumlah kasus yang begitu banyak dan semakin meningkat ketimpangan struktur penguasaan dan konflik agraria masih ramai terjadi.

Angka ini jauh berbanding terbalik jika dibandingkan dengan pelaksanaan reforma agraria di era pemerintahan saat ini. Wilayah terbanyak terjadi konflik tanah ialah di Provinsi Riau, sebagai provinsi dengan perkebunan kelapa sawit terluas di Indonesia. Sedangkan dua provinsi di pulau Jawa yang menjadi wilayah penyumbang konflik agraria terbanyak kedua dan ketiga, didominasi isu penguasaan tanah oleh PTPN, monopoli hutan Jawa oleh pihak Perhutani dan perluasan proyek pembangunan infrastruktur pemerintah.

Presiden jokowi harus segera mengambil langkah minimal untuk menyelesaikan konflik agraria dan meluruskan reforma agraria, sesuai dengan amanat UU PA No. 5 Tahun 1960, serta menerapakan aturan penyelesaian konflik minimal bersandar pada Perpres No. 86 Tahun 2018. Secara teknis pemerintah seharusnya segera membentuk kelembagaan pelaksanaan reforma agraria yang berada langsung di bawah presiden.

Lembaga tersebut terdiri dari lintas sektor, melibatkan organisasi masyarakat sipil dan organisasi rakyat. Percepatan pembuatan Kelembagaan Reforma Agraria dalam rangka membantu pelaksanaaan Tim Reforma Agraria, maka harus segera dibentuk Gugus Tugas Reforma Agraria sebagaimana mandat (Pasal 19 ayat 2, Perpres 86) yang memiliki fungsi mengordinasikan penyediaan Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) dalam rangka penataan Aset dan akses di tingkat pusat.

Kedudukan Tim Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) berada pada tingkat Pusat, Provinsi dan Kabupaten. Dalam Keputusan Menteri ATR/BPN No 17 Tahun 2018, Tim Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) telah dibentuk runtut pada Keputusan Gubenur No 188/352/KPT/013/2018 dengan isi Keputusan yang dirasa penting yakni membentuk Tim Gugus Tugas Reforma Agraria, Memperkuat kapasitas Reforma Agraria, mengoordinasikan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA), Mengoordinasikan integrasi pelaksaan penataan aset dan akses, memfasilitasi pelaksanaan pemberdayaaan Reforma Agraria, menyelasaikan konflik Reforma Agraria, menunjuk masyarakat yang berpengalaman dalam bidang Reforma Agraria. Kendati demikian pada tingkat Kabupaten mengalami kemandekan terkait hirarki aturan, khususnya pada pelaksanaan Tim Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Kabupaten Jember yang hingga bulan September ini belum memberikan kejelasan perihal pembentukan Tim GTRA tersebut.

Melihat kronisnya konflik agraria serta masifnya ketimpangan sosial menunjukkan bahwa reforma agraria selama ini telah diselewengkan. Pemerintah mulai kehilangan arah dan menjauh dari amanat UUPA 1960, bahkan sekarang sedang menggodok RUU Pertanahan yang cacat dan jauh dari Reforma Agraria itu sendiri. RUU tersebut tak lebih salinan dari Perpres 86 yang dimodifikasi sedemikian rupa seolah-olah membahas Reforma Agraria, padahal tidak sama sekali. Perpres 86 merupakan penyerdehanaan yang fatal tentang Reforma Agraria, hanya bicara aset dan akses tanpa perombakan menyeluruh hingga bicara keberlanjutan kelola pro rakyat. RUU Pertanahan berbicara aset dan aset namun dominan kepentingan investasi.

Ancaman lanjutan ialah dalam RUU Sistem Budidaya Pertanian yang lebih pro ke pemodal. Ada beberapa pasal yang bermasalah, salah satunya pas 11, 16 dan 17. Pada Pasal 11, berisi tentang pilihan tanaman yang harus sesuai dengan perencanaan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, Probinsi, dan Kabupaten/kota artinya membatasi pilihan petani dalam mengembangkan budidaya sesuai dengan pengetahuan dan potensi lokal. Lalu ada Pasal 16 dan 17, pendekatan dalam pasal ini sangat otoriter dan mengabaikan hak-hak petani, hak-hak dasar Desa, potensi dan kearifan lokal dan mengabaikan serta membahayakan keragaman hayati, yang justru seharusnya dilindungi sebagai kekayaan bangsa yang tinggi nilainya.

Perlu diketahui di kabupaten Jember yang sebagian besar merupakan petani. Dan mengalami banyak persoalan, semisal tidak jelasnya tata ruang Jember, di mana lahan produktif akan diekstrasi menjadi tambang, sebagaimana di Silo, Puger dan Kencong. Belum lagi konflik di wilayah Curahnongko yang kini masih belum selesai, kala warga memperjuangkan 332 hektar yang diklaim oleh PTPN XII. Ada pula konflik lahan di Sukorejo yang lawannya ialah militer dengan luasan klaim 84,43 hektar, tanah tersebut dulunya bekas perkebunan.

Maka dengan melihat hal – hal di atas dan demi melindungi petani atas kedaulatan tanamannya, serta mendorong terciptan keadilan reforma agraria sejati di Jember. Maka dalam peringatan Hari Tani Nasional yang ke 59 tahun 2019 dan 59 Tahun lahirnya UUPA, kami dari Front Nahdliyyin untuk Kedaulatan Sumber Daya alam Komite Daerah Jember (FNKSDA JEMBER) menuntut dengan beberapa hal yakni :

  1. Mendesak kepada Bupati Jember untuk segera membentuk Tim GTRA Jember.
  2. Tegaskan keberpihakan pemerintah Kabupaten Jember dalam menjalankan Reforma Agraria sesuai dengan sila ke – 5 Pancasila, Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, UUPA 1960 dan TAP MPR no.IX tahun 2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (PA-PSDA), yakni reforma agraria yang bertujuan merombak ketimpangan struktur agraria, menyelesaikan konflik dan meningkatkan derajat kehidupan rakyat.
  3. Hentikan monopoli wilayah pesisir sepadan pantai selatan Jember untuk pembangunan infrastruktur yang menghilangkan wilayah tangkap nelayan.
  4. Mengecam keterlibatan TNI, Polri dan Intelejen dalam penanganan konflik agraria.
  5. Menuntut dibatalkannya RUU Pertanahan karena tidak sesuai amanat UU PA No. 5 Tahun 1960.
  6. Menuntut ditundanya pengesahan dan harus dikaji ulang, dibahas dan diuji secara luas tentang RUU SBPB (Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan) dengan melibatkan semua komponen masyarakat petani demi mendukung petani atas kedaulatan tanamannya.

Wallahu muwafiq illah aqwamith thariq

FNKSDA KOMITE DAERAH KABUPATEN JEMBER

Nurul Mahmuda Hidayatulloh

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *