Undangan Terbuka Konferensi Agraria dalam Rangka Peringatan Hari Tani Nasional 2018
Sebagian orang hidup di dalam kegelapan; Segelintir saja yang hidup di tempat yang terang; Dan mereka yang hidup di dalam kegelapan tetap tak terlihat (Bertold Brecht)
Sejak jaman kemerdekaan, para Founding Fathers menyadari bahwa ketimpangan penguasaan lahan menyebabkan kemiskinan bagi rakyat Indonesia. Mereka meyakini bahwa Reforma Agraria menjadi perubahan revolusioner dalam hubungan-hubungan agraria kolonial dan feodal. Beberapa program Reforma Agraria telah dijalankan pasca kemerdekaan sebagai upaya penidakberdayaan penguasa, pemilik, pengguna dan pemanfaat tanah yang berlebih.
Reforma Agraria di definisikan oleh Lipton sebagai perundang-undangan legislasi yang diniatkan dan benar-benar diperuntukkan untuk meriditribusi kepemilikan, mewujudkan klaim-klaim atau hak-hak atas tanah pertanian, dan dijalankan untuk memberikan manfaat kepada kaum miskin dengan cara meningkatkan status, kekuasaan dan pendapatan absolut maupun relatif mereka, berbanding dengan situasi tanpa perundang undangan tersebut.
Istilah reforma agraria kembali mengemuka pada saat pemilu 2014. Pada saat presiden Joko Widodo (presiden terpilih periode 2014-2019) memberikan janji-janji Reforma Agraria dalam kampanye yang disebut nawacita. Melalui “nawacita”, pemerintah berjanji akan melakukan reditribusi lahan seluas 9 (sembilan) juta hektare kepada masyarakat di seluruh Indonesia. Namun selama rezim berjalan hampir 4 tahun, semangat Reforma Agraria yang mempunyai tujuan untuk menghadirkan keadilan ekonomi dan kesejahteraan bagi rakyat melalui akses terhadap lahan yang terus digaungkan oleh Pemerintah nyatanya tak membawa perubahan apapun.
Semangat reforma agraria yang mempunyai tujuan untuk menghadirkan keadilan ekonomi dan kesejahteraan bagi rakyat melalui akses terhadap lahan yang terus digaungkan oleh Pemerintah nyatanya tak membawa perubahan apapun. Reforma Agraria hanya dimaknai sebagai ‘akses’ atau sebatas pengelolaan terhadap lahan hutan oleh masyarakat tanpa adanya pemberian klaim hak atau asistensi dan fasilitasi untuk akses penerima tanah redistribusi.
Pemerintah terus ‘memaksa’ rakyat untuk menerima program perhutanan sosial sebagai wujud pengejahwantahan pemerintah dalam pelaksanaan reforma agraria. Pemerintah hanya mengedepankan ‘bagi-bagi sertifikat’ yang kemudian juga diklaim sebagai pelaksanaan Reforma Agraria. Sementara itu, terdapat banyak konflik Agraria yang tidak pernah di upayakan penyelesaiannya oleh pemerintah. Pemerintah malah semakin represif terhadap petani-petani miskin.
Perhutanan Sosial dianggap sebagai ‘doa sapu jagad’ yang dapat menyelesaikan konflik kehutanan dan ketimpangan lahan yang menyebabkan kemiskinan bagi rakyat. Alih-alih membuat sebuah resolusi untuk menangani kasus, pemerintah tak henti-hentinya ‘merampas’ hak atas tanah rakyat untuk membangun infrastruktur dengan dalih pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
Peringatan hari tani yang sedianya selalu diperingati setiap tanggal 24 September menjadi momentum sebagai upaya refleksi untuk kembali melihat permasalahan-permasalahan agraria dan penyelesaiannya.
Berdasarkan rasionalitas di atas, jaringan Masyarakat Sipil di Jawa Tengah akan mengadakan Konferensi Agraria dengan tema, “Reforma Agraria untuk Keadilan Sosial dan Keadilan Ekologis” yang akan dilaksanakan pada:
Hari, Tanggal : Rabu-Jum’at, 12-14 September 2018
Waktu : 09.00 WIB – Selesai
Tempat : Audit 1 Lantai 1 Kampus 1 UIN Walisongo Semarang
Adapun rangkaian acara Konferensi Agraria terdiri dari: Diskusi Panel, Temu Petani Se-Jawa, Pameran Karya (Lukisan, Poster, dll), Pentas Musik, dll.
Mari hadir dan turut serta!
#Tanahuntukpenggarap #ReformaAgrariasejati
Narahubung :
Nico Wauran : 085799120425Umi Ma’rufah : 085225977379