Akademisi, Ilmu Pengetahuan, dan Ruang Hidup yang Makin Mencekik
Muhammad Al-Fayyadl
(Komite Nasional FNKSDA)
Akademisi, sama seperti kaum intelektual lainnya dalam masyarakat, menduduki posisi yang signifikan dalam produksi dan kemajuan kualitas pengetahuan yang menyumbang perubahan suatu masyarakat. Kampus sudah lama bukan lagi “menara gading.” Kampus adalah tempat produksi pengetahuan, status sosial, dan akses sosial-ekonomi-politik, dan ajang kontestasi bagi proses produksi tersebut. Kampus adalah tempat kepentingan individu-akademisi bertemu dengan kepentingan-kepentingan lain yang lebih besar: negara (aparatur sipil/militer), pasar (swasta), kolektif-masyarakat.
Bertemu bernegosiasi, berkompromi, berkonfrontasi, mengalah, dikalahkan, tunduk- ditundukkan, menolak, ditolak, membangun kerjasama, beraliansi, memihak, berpihak. Formula empiris sederhana bagi pertemuan ini: semakin besar kepentingan salah satu pihak menguasai ruang akademis, semakin besar peluang akademisi atau komunitas akademik didikte oleh pihak pertama, dan sebagai padanannya, semakin besar peluang pihak lain melakukan gugatan atau counter atas dominasi tersebut. Posisi akademisi tidak saja berada dalam tarik-ulur antara hablum minallah dan hablum minan-nas, serta hablum minal ‘alam, tetapi juga hablum minad- daulah (hubungan dengan Negara), hablum minal Birokrasi, dan hablum-minal Korporasi, tetapi juga, yang lebih rumit, hablum minar-ra’iyyah (hubungan dengan rakyat), hablum-minal mustadl’afin.
Sering ditanyakan: “rakyat” yang mana yang hendak diwakili atau perlu dibela oleh akademisi, jika demikian? Bukankah “rakyat” itu beragam aktor dan lapisan? Jawabannya tentu saja tidak mudah. Tetapi, dengan melihat perkembangan masyarakat di bawah rezim kapitalisme hari ini, istilah “rakyat” sendiri mengalami diferensiasi, fragmentasi, dan identifikasi. Acuan objektif yang paling mungkin adalah mengajukan perluasan sekaligus spesifikasi pengertian ini: “rakyat” bukan mengacu kepada kelompok atau organisasi tertentu, tetapi “kepentingan kolektif” yang disuarakan oleh kelompok-kelompok tersebut. Ini meniscayakan pada gilirannya perluasan objek penderita-nya, mencakup keseluruhan atau nyaris keseluruhan lapisan sosial yang ada, namun dengan pengertian yang spesifik, yakni kepentingan tersebut membuat mereka menjadi pihak yang dirugikan atau turut dirugikan – membuat mereka menjadi kaum mustadl’afin, yang terlemahkan.
Dari pengertian ini, pihak swasta (korporasi) tersisih dari lingkup “rakyat”, mengingat pihak swasta tidak mungkin membawakan kepentingan kolektif karena bertentangan dengan asas profit dan maksimalisasi profit yang dikejarnya. Dalam kasus di mana swasta merepresentasikan diri sebagai penanggung jawab pelayanan publik (misalnya, dalam perusahaan-perusahaan BUMN), perlu dilakukan pemilahan: lebih besar manakah asas profit atau kepentingan kolektifnya? Lebih jauh, lebih besar manakah kemanfaatan dan mudaratnya dalam jangka panjang bagi kehidupan kolektif ?
Fenomena beberapa tahun terakhir memperlihatkan dominasi kepentingan negara dan swasta (korporat) dalam penetrasinya ke ruang-ruang akademis daripada penetrasi kepentingan kolektif-masyarakat. Tuduhan bahwa akademisi dan kampus telah dibajak oleh kaum pemodal, terdengar menemukan pembenarannya.
Ratusan petani pegunungan Kendeng (Pati-Rembang) melakukan gruduk massal di fakultas geologi dan kehutanan UGM karena pemihakan sebagian peneliti UGM terhadap PT Semen Indonesia yang melakukan penambangan di Kendeng (Ini juga dilakukan oleh beberapa peneliti dari Universitas Airlangga Surabaya). Dukungan para akademisi Yogyakarta atas proyek bandara Kulon Progo (NYIA) dan sikap bungkam mereka atas penghancuran kehidupan para petani Temon Kulon Progo. Sponsorship korporasi-korporasi perkebunan sawit di sejumlah kampus (IPB, UGM, dll.). Keterlibatan insan kampus dalam membangun pencitraan positif tentang proyek-proyek “nasional” yang berpotensi merampas ruang hidup rakyat (jalan tol, bandara, dan politik infrastruktur secara umum). Daftar ini dapat diperpanjang.
Kini pertanyaannya: bagaimana memperbesar penetrasi kepentingan kolektif di ruang-ruang akademis yang diasumsikan kedap dari keberpihakan, netral, “dingin,” dan terkesan acuh tak acuh atas problem sosial-ekologis di sekelilingnya? Peluang itu ada, dan tetap terbuka, karena dominasi Negara dan korporasi tidak mutlak dan sepenuhnya bebas dari penentangan atau kritik. Ruang-ruang resistensi itu yang misalnya dibangun oleh kalangan mahasiswa atau publik umum, yang mengusik citra kampus dengan menagih keberpihakan yang lebih besar (ketika hari ini kampus membutuhkan pencitraan positif).
Disensus terus ada, penentangan berpotensi lahir “dari dalam,” namun apakah disensus itu mampu dimenangkan secara kolektif oleh tekanan masyarakat, hal itu bergantung pada terpenuhinya sejumlah prasyarat. Antara lain: kolaborasi antara dosen dan mahasiswa dalam kerja-kerja lapangan yang berpihak kepada kepentingan kolektif-masyarakat (hal ini dapat terfasilitasi melalui KKN atau kerja lapangan lain); adanya porsi pembelajaran ekologi dan agraria yang lebih besar di kelas maupun luar kelas; terbentuknya protest groups yang aktif dan semarak di dalam kampus yang berorientasi menyikapi isu-isu di luar kampus; kurikulum mandiri yang mulai melakukan “taubat nasuha” dari sesat-pikir modernisasi kapitalistik yang mengesahkan terjadinya perampasan ruang hidup atas nama kemajuan dan retorika pembangunan, dan seterusnya.
Tanpa hal-hal itu, maka kaum akademisi kampus akan kembali ke situasi naif-“primitif”-nya: pura-pura tak tahu bahwa mereka, sebagai manusia, tidak akan pernah berurusan dengan problem ruang hidup. Padahal, sehari-hari tanpa menteorikannya, mereka telah mengalaminya: kemacetan jalan raya yang parah, kualitas udara, tanah, dan air yang polutan, pemandangan kota yang kian sumpek, dan potensi – cepat atau lambat laun – hunian mereka digusur oleh perluasan proyek-proyek properti yang semakin rakus lahan dan sumber daya alam. Ketidakpedulian hanya langkah pertama menuju bunuh-diri. Mengingat ruang hidup merupakan prasyarat dari kehidupan, pembiaran atas kolonisasi ruang hidup oleh kekuatan modal merupakan bunuh diri pelan-pelan.
Apakah kita dapat bermimpi di Indonesia untuk melihat kaum akademisi bangun dari kenaifannya memandang problem ruang hidup? Atau lebih jauh mampu merebut dan mereklaim– bersama gerakan rakyat – ruang-ruang komersiil yang diciptakan oleh kaum pemodal (mall, wahana wisata, properti, perumahan mewah, tempat belanja) dan mengubahnya menjadi ruang-ruang hidup yang dibutuhkan oleh kaum fakir-lahan, gelandangan, kaum miskin kota, kaum buruh perkotaan? Eksperimen mengubah bangunan komersiil milik swasta menjadi bangunan yang bernilai publik dapat dipetik dari berbagai kisah di luar negeri.
Perebutan ruang ini dapat terjadi apabila dalam insan kampus terpatri empat hal: kesadaran atas problem ruang hidup, ilmu pengetahuan yang memadai tentang ruang hidup dan ketimpangan sosio-ekonomi, keberpihakan dalam wujud kerja militansi dan pengorganisasian, dan kemandirian ekonomi dari ketergantungan donor dan sponsorship berbagai perusahaan yang memiliki riwayat konflik dengan rakyat.
*Artikel ini sebagai pengantar “Ngaji Lingkungan: Peran Akademisi di dalam Perampasan Ruang Hidup Rakyat, UINSA Surabaya, 14 September 2018.”