Browse By

Hentikan Perampasan Tanah Warga Urutsewu, Kembalikan Tanah Warga Urutsewu

*Komite Nasional Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA)

Assalamualaikum Warrahmatulloh. Allahuma Sholli Ala Sayyidina Muhammad

Pengantar Memahami Konflik Tiada Henti di Urutsewu

Konflik yang dihadapi oleh masyarakat Urutsewu, Kebumen, Jawa Tengah telah berlangsung cukup lama. Tercatat ada 15 desa yang terletak di tiga kecamatan yang terancam diklaim lahannya, yakni Desa Ayamputih, Setrojenar, Bercong (Kecamatan Buluspesantren); Desa Entak, Kenoyojayan Ambal Resmi, Kaibon Petangkuran, Kaibon, Sumberjati, (Kecamatan Ambal); Mirit Petikusan, Mirit, Tlogodepok, Tlogopragoto, Lembupurwo, dan Wiromartan (Kecamatan Mirit).
Konflik ini sendiri bahkan telah terjadi sebelum era kemerdekaan, ketika negeri Indonesia ini masih dikuasai bangsa kolonial. Dalam catatan kronologis konflik Urutsewu, ada yang menyebutkan jika pada tahun 1937 pesisir selatan Urutsewu pernah dijadikan sebagai tempat latihan tempur pasukan Belanda.

Setelah itu Jepang masuk ke Indonesia, di tahun 1942 tanah tersebut dijadikan tempat latihan tempur para pasukan Dai Nippon. Setelah Indonesia merdeka di tahun 1945, berangsur-angsur tanah tersebut kembali lagi ke pangkuan warga. Karena secara genealogis, wilayah tersebut sudah sejak lama didiami oleh warga untuk hidup dan melanjutkan kehidupan. Angin segar mulai hadir, kala Undang-Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960 berhasil disahkan. Artinya ada wacana untuk memberikan pengakuan atas aset warga Urutsewu, berupa hamparan lahan di dekat pesisir pantai selatan guna dijadikan sebagai tempat bercocok tanam.

Landreform pun dilaksanakan, hampir semua orang di periodesasi 1960-1965 berbondong-bondong meminta pengakuan atas aset dan akses atas lahan tersebut. Memasuki fase kelam periode sejarah Indonesia, yakni munculnya gejolak 1965 yang merupakan luka sejarah Indonesia dan penghambat Reforma Agraria. Lahan yang semula menjadi milik warga berangsur-angsur lepas kepemilikannya, banyak dari mereka tidak mau mengakui lahannya, karena jika berani mengakui maka secara otomatis dituduh komunis. Atas proses itulah, beberapa lahan ditinggalkan pemiliknya.

Pada tahun 1975, perusahaan perkebunan teh masuk ke wilayah selatan Urutsewu dengan melakukan klaim atas wilayah tersebut, sebagai lahan yang ditelantarkan. Namun itu ditolak warga, sampai akhirnya ada kesepakatan untuk akad sewa lahan, karena warga terbukti memiliki bukti kepemilikian berupa akad jual beli lahan. Memasuki tahun 1982, TNI AD mulai masuk ke wilayah Urutsewu. Pihak TNI AD kemudian meminjam lahan tersebut dari warga untuk dijadikan tempat latihan tempur. Hal ini berlanjut pada tahun 1997-2009 TNI AD melakukan mekanisme peminjaman lahan di pesisir selatan Urutsewu ke pemerintah Kabupaten Kebumen. Belakangan mereka tidak izin lagi, tetapi hanya melayangkan surat pemberitahuan. Bahkan terakhir-terakhir mereka melakukan klaim kepemilikan lahan.

Sejarah panjang klaim tanah warga ini memiliki beberapa motif utama, pertama ialah legitimasi negara dengan dalih keamanan dan pertahanan negara. Kedua ialah persoalan ekonomi, yakni pernah hadirnya tambang pasir besi di wilayah selatan Urutsewu. Saat itu pihak TNI mengizinkan eksploitasi wilayah pesisir tersebut untuk dijadikan tambang pasir besi, yang pada saat itu dikelola oleh PT. MNC.

Pada tahun 2011 akhirnya warga melakukan aksi besar-besaran dengan memblokade wilayah klaim tersebut. Pihak TNI AD melakukan tindakan represif kepada warga, dengan melakukan pembongkaran paksa blokade. Bahkan, mereka mulai menghujani warga dengan suara riuh desing peluru, tercatat ada beberapa korban. Kurang lebih 6 petani dikriminalisasi, 13 mengalami luka-luka akibat penganiyayaan, sementara 6 orang terluka karena tembakan peluru karet. Pasca kejadian tersebut tekanan datang silih berganti ke militer, akhirnya mereka mencabut izin penambangan pasir besi. Keluarnya surat tersebut dapat dicermati bahwa secara tidak langsung pihak militer telah mengklaim lahan tersebut.

Anehnya, pihak pemerintah Kebumen seakan-akan tidak peduli dengan warga. Mereka beberapa kali malah terlihat tak acuh dan menjadi aktor pelanggengan klaim atas lahan warga. Mereka bahkan mengakomodir perampasan tersebut melalui rancangan Perda RTRW Kebumen, selain pengakuan klaim peraturan tersebut juga melegitimasi wilayah pertambangan. Tahun 2012 Perda tersebut disahkan, warga melakukan protes atas tindakan tersebut. Hingga kini pemerintah Kabupaten Kebumen tidak memihak rakyatnya. Malahan mendukung klaim dan eksploitasi lahan warga Urutsewu.

Setelah lama padam, dan tidak ada tanda-tanda perampasan lahan lagi. Warga kembali beraktivitas seperti biasa, memanfaatkan lahan yang telah kembali ke pangkuan mereka. Namun pada bulan Juli 2019 ini, tiba-tiba pihak TNI AD melakukan pemagaran beton di atas lahan yang mereka klaim sejak lama. Pemagaran ini merupakan pemagaran tahap akhir di tiga desa yakni, di Desa Entak, Desa Brecong Kecamatan Ambal, dan Desa Setrojenar Kecamatan Bulupesantren. Pemagaran tersebut didasarkan atas dalih, bahwa mereka telah menguasai aset tersebut. Warga yang sehari-hari memanfaatkan lahan untuk melanjutkan kehidupan pun merasa terancam subsitensinya. Dengan klaim lahan tersebut, diprediksi akan banyak warga yang kehilangan akses atas lahan serta subsistensi hidupnya.

Pandangan FNKSDA Terkait Konflik Urutsewu

Motif demi motif yang terangkum dalam konflik tersebut setidaknya telah terbaca polanya. Ada motif klaim lahan atas nama institusi negara yang seharusnya tunduk pada kekuasaan rakyat. Artinya ada abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan untuk tujuan tertentu, dan merugikan warga negara itu sendiri. Lalu, ada motif ekonomi, yang mana pihak militer maupun pemerintah kabupaten melegitimasi eksploitasi pertambangan pasir besi. Dengan mengorbankan lahan pertanian produktif, serta ekosistem pesisir selatan yang seharusnya dikonservasi.

Dalam perspektif Islam, bahwa apa yang telah dilakukan oleh pihak-pihak tersebut bertentangan dengan ajaran Islam. Karena Islam sendiri sangat membenci perampasan hak atas orang lain, khususnya yang bertalian dengan maslahah ammah. Perbuatan yang dilakukan oleh pihak perampas lahan tersebut merupakan tindakan yang bathil. Allah sangat membenci orang yang hidup dengan merampas harta saudaranya sendiri, sebagaimana firmannya dalam surat Al-Baqoroh ayat 188:

وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil” (Al-Baqarah ayat 188).

Sejalan dengan itu nabi besar Muhammad SAW, juga melaknat orang yang merampas lahan bukan haknya. Sebagaimana hadist dari sahabat Sa’id bin Zaid RA, ia menuturkan jika, “Aku mendengar Rasullah bersabda” :

مَنْ ظَلَمَ مِنَ اْلأَرْضِ شَيْئًا طُوِّقَهُ مِنْ سَبْعِ أَرَضِيْنَ.

“Barangsiapa mengambil sedikit tanah dengan cara yang dzalim, maka (Allah) akan mengalungkan kepadanya dari tujuh lapis bumi.”

Lalu ada hadist dari sahabat Salim RA, bahwa ia mengatakan, “Nabi Muhammad SAW bersabda” :

مَنْ أَخَذَ مِنَ اْلأَرْضِ شَيْئًا بِغَيْرِ حَقِّهِ خُسِفَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى سَبْعِ أَرَضِيْنَ.
“Barangsiapa yang mengambil tanah sedikit saja dengan cara yang tidak dibenarkan, maka ia dibenamkan ke dalam tanah tersebut pada hari kiamat hingga tujuh lapis bumi.”

Berdasarkan dari hasil Munas Alim Ulama NU tahun 2017 di NTB, beberapa poin kesimpulan dan rekomendasi dari hasil Bahtsul Masail Ad-Diniyyah Al-Qanuniyyah yakni:

1. Tanah harus dikembalikan pada fungsi dasarnya sebagai alat produksi untuk kesejahteran rakyat secara adil dan merata. Dengan demikian, tanah tidak boleh dimonopoli kepemilikan dan penggarapannya, yang dapat mengakibatkan ketimpangan.

2. Perlu adanya payung hukum yang kuat dan komprehensif untuk menjamin kepastian hukum bagi kebijakan distribusi lahan melalui reformasi agraria secara fundamental dan menyeluruh. Pengaturan tentang distribusi lahan diintegrasikan ke dalam RUU Pertanahan.

3. Konglomerasi penguasaan lahan konsesi yang tidak proporsional harus diredistribusi melalui mekanisme hukum yang sah. Pemerintah berkewajiban menyiapkan kemampuan masyarakat dalam pengelolaan lahan hasil redistribusi tersebut.

4. Kebijakan reformasi agraria dan distribusi lahan untuk kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat harus dilakukan secara menyeluruh dan berkelanjutan, tidak bergantung pada kebijakan politik rezim kekuasaan yang berganti-ganti.

5. Proses dan mekanisme pelaksanaan reformasi agraria dan distribusi lahan harus transparan dan terbuka kepada publik, dapat dikontrol dan diawasi secara ketat oleh negara dan masyarakat.

Dalam konteks Urutsewu, kita bisa mengambil suatu kesimpulan, bahwa lahan yang diklaim oleh pihak militer merupakan tanah produktif. Digunakan untuk keberlanjutan hidup warga, khususnya untuk generasi selanjutnya. Atas dasar itulah kami dari Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA), mendukung perjuangan warga nahdliyin dan mereka yang tedzolimi untuk mendapatkan lahan mereka lagi.

Kami berdasar bahwa berangkat dari realitas yang ada, klaim atas tanah secara sepihak apalagi ada unsur perampasan hak, baik secara hukum formal maupun syariah tidak bisa dibenarkan. Apalagi yang sedang mengalami kesusahan adalah Jama’ah Nahdlatul Ulama, yang berprofesi sebagai petani. Mereka kaum-kaum mustadh’afin yang selalu ditindas, terancam penghidupannya atas klaim militer pada lahan pertaniannya. Berangkat dari satu wejangan Hadratus Syaikh Kyai Hasyim Asy’ari yang selalu kami pegang teguh, “Petani itu Penolong Negeri.”

Selain itu kami juga meminta, pihak-pihak terkait khususnya Pemerintah Republik Indonesia untuk mengembalikan lahan milik petani. Meminta dengan legowo agar TNI AD mundur dari wilayah tersebut sebagai penghormatan atas konstitusi dan rakyat. Serta meminta seluruh elemen, khususnya PBNU agar bisa memperjuangkan Jama’ah NU di wilayah konflik (salah satunya Urutsewu), sebagaimana amanat dari Munas Alim Ulama di NTB tentang Reforma Agraria.

Wallahumuwafiq Illa Aqwamith Tharieq, Wassalamualaikum Warrahmatullah

*Tulisan ini merupakan pernyataan sikap Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) atas konflik di Urutsewu. Kebumen, 30 Juli 2019.

One thought on “Hentikan Perampasan Tanah Warga Urutsewu, Kembalikan Tanah Warga Urutsewu”

  1. Pingback: Pemasangan Pagar Berujung Babak Belur, 15 Warga Urutsewu Luka-luka, Satu Tertembak Peluru Karet | Selamatkan Bumi
  2. Trackback: Pemasangan Pagar Berujung Babak Belur, 15 Warga Urutsewu Luka-luka, Satu Tertembak Peluru Karet | Selamatkan Bumi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *