Browse By

Khutbah Jumat: Manusia adalah Khalifah fil Ardh, Bukan Syaithan fil Ardh

Oleh: Dendy Wahyu Anugrah (Kader FNKSDA Komite Daerah Banyuwangi)

Alam semesta diciptakan oleh Allah Swt. tidak lain sebagai lokus untuk makhluk-Nya beribadah. Ibadah makhluk Tuhan bisa bermacam-macam, tapi yang jelas, bagi manusia, sholat adalah salah satu bentuk ibadah yang sangat diwajibkan. Bahkan, kalau bahasa agama, disebut fardhu ‘ain (wajib bagi setiap individu manusia).

Sholat (ibadah) adalah afirmasi bagi manusia, bahwa ia adalah makhluk yang dha’if (lemah), faqir (miskin), dan tidak ada daya pada diri mereka. Secara general, mereka “membutuhkan” entitas yang maha kuasa, karena mereka makhluk yang lemah.

Penciptaan bumi, langit, dan segala isinya, adalah “ayat” Tuhan untuk dijadikan stimulasi agar manusia berpikir dengan akal pikirannya. Hal ini terdapat pada penggalan QS. Al-Imron: 190, yang berbunyi:


اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَاٰيٰتٍ لِّاُولِى الْاَلْبَابِۙ

Artinya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal.”

Seluruh jagad raya ini, tanpa terkecuali, diperuntukkan kepada manusia. Lantas, apakah kita sebagai manusia sudah melakukan tugas kita dengan sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya? Kalau kita mengatakan kesudahan atas peribadatan kita, barangkali hal itu hanya “gerakan” semata. Atau, jika kita mengatakan tidak sama sekali, barangkali kita sudah beribadah, namun kita tidak menyadarinya. Sehingga, kita hanya bergerak semata, karena tidak dilandasi oleh niat yang baik.

Ilustrasi manusia menjaga alam

Karena manusia adalah makhluk yang par excellence daripada makhluk lain, seyogyanya manusia menjadi uswah yang baik dan berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiqul khoirot). Salah satu faktor manusia bisa dikatakan baik adalah, setidaknya ia tidak menindas, melakukan sesuatu yang destruktif, melemahkan manusia lain dan eksploitatif.

Jika masih banyak perilaku-perilaku demikian, berarti manusia masih belum sepenuhnya menyadari bahwa dirinya diberi tugas yang amat mulia, yakni sebagai “khalifah fil ardh“. Hal ini termaktub dalam Al-Qur’an, yang berbunyi:


وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Artinya: “Ingatlah ketika Allah berfirman kepada Para Malaikat: “Sesungguhnya aku hendak menjadikan manusia (perempuan dan laki-laki) sebagai khalifah di bumi. Malaikat berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan manusia sebagai khalifah, padahal mereka nantinya hanya akan membuat kerusakan dan pertumpahan darah, sementara kami senantiasa bertasbih, memuji dan mensucikan Engkau?” Allah berfirman: “Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. al-Baqarah [2]: 30).

Konsep khalifah fil ardh ini seringkali mengalami bias makna dan penafsiran yang “semau gue”, atau menafsirkan ayat Al-Qur’an “seenak jidat”. Ketika hal itu dilakukan, maka ayat-ayat Allah Swt. hanya dijadikan legitimasi atas “kebengisan” yang dilakukan. Kenyataan semacam ini perlu direkonstruksi, agar tidak mudah melakukan hal-hal yang bisa merusak alam semesta.

Padahal, konsep khalifah fil ardh tersebut adalah tugas untuk menjaga, merawat, melestarikan dan melakukan tindakan-tindakan yang berorientasi untuk pengembangan alam semesta; tanah, air, udara dan sebagainya. Namun, entah kapan makna khalifah fil ardh menjadi tindakan “eksploitasi alam”, misalnya. Ini jelas tidak sejalan dengan visi Islam yang rahmatan lil ‘alamin.

Telah kita ketahui, Islam tidak pernah mengajarkan perusakan yang dapat mengakibatkan “kiamat” karena ulah manusia. Sebaliknya, Islam mengajarkan, manusia harus mempunyai hubungan yang baik kepada alam semesta (hablum minal ‘alam) atau dalam epistemologi Engineer, Islam bersifat liberatif pada awal peradaban Islam.

Untuk mengamalkan konsep hablum minal ‘alam ini, secara sederhana bisa diuraikan seperti, tidak membuang sampah sembarangan, tidak merusak tanaman, tidak membuang limbah ke sungai, tidak melakukan hal-hal yang merugikan alam.

Jika melihat fenomena saat ini, banyak sekali tindakan-tindakan eksploitatif terhadap alam, misalnya reklamasi, perampasan tanah milik masyarakat adat hingga konflik tenurial hutan yang berkepanjangan. Golongan yang melakukan tindakan tersebut, untuk kepentingan golongannya sendiri, adalah manusia yang bukan khalifah fil ardh. Mereka justru syaithan fil ardh, maksudnya menjadi setan-setan yang mengelabui manusia, agar manusia segera menuju neraka yang mereka ciptakan sendiri. Neraka yang penuh dengan porak-poranda alam, tsunami, banjir, longsor, dan bencana alam lainya.

Menjadi khalifah bukan perkara yang mudah, bukan persoalan yang enteng dan biasa. Menjadi khalifah berarti bersedia dan bertekad untuk menegakkan “li i’lai kalimatillah” dan membumikan “izzul islam wa al-muslimin“. Kepada seluruh manusia yang mendedikasikan dirinya kepada perjuangan untuk menegakkan keadilan, Al-fatihah. Kepada mereka yang mengeksploitasi alam, mementingkan dirinya sendiri, menumpuk kekayaan untuk menguasai alam semesta, Al-zalzalah.

Wallahu A’lam.

*Khutbah Jumat adalah series tulisan yang disyiarkan oleh Front Nahdiliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) dengan tujuan tablig nilai-nilai agama Islam yang bervisi keadilan, melawan kezaliman, mengadvokasi dunia yang hijau dan umat yang berdaulat, serta penghapusan segala akar-akar ketimpangan. Series Khutbah Jumat ditulis oleh kader dan anggota FNKSDA serta terbuka bagi seluruh umat Islam untuk terlibat dalam produksi syiar jihad ini. Khutbah Jumat dapat digunakan oleh pembaca sebagai rujukan aktivitas dakwah kultural di surau-surau desa, mimbar-mimbar masjid kota, hingga kepentingan pengorganisasian rakyat dan gerakan yang lebih luas di akar rumput.


“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukit yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Alkitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat menegakkan keadilan.” (Al-Hadid (57): 25)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *