Pesan Sosial Ibadah Kurban: Sembelih Syahwat, Pangkas Kesenjangan
اَللَّهُ أَكْبَرُ اَللَّهُ أَكْبَرُ
اَللَّهُ أَكْبَرُ اَللَّهُ أَكْبَرُ
اَللَّهُ أَكْبَرُ اَللَّهُ أَكْبَرُ
لَا اِلٰهَ اِلَّا اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ. اللَّهُ أَكْبَرُ وَللهِ الْحَمْدُ اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا، وَسُبْحَانَ اللَّهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ. لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَلَا نَعْبُدُ إِلَّا إِيَّاهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُوْنَ
Ada pesan sosial yang begitu penting bagi umat Islam dalam ibadah kurban yang digelar tiap Idul Adha tiba. Bahwa keteguhan Ibrahim yang rela mengorbankan putra semata wayangnya Ismail sebelum akhirnya diganti dengan seekor domba, maknanya lebih luas ketimbang sekedar menjadi penanda kesalehan ritual Ibrahim dan Ismail terhadap Allah Swt.
Lebih dari itu, perintah berkurban yang merupakan sunnah muakkadah (sunah yang sangat penting), mengandung ajakan terhadap umat Islam untuk saleh secara sosial. Yang ditekankan dalam ibadah kurban adalah pembuktian secara empiris pembelaan umat Islam kepada mereka yang mustadl’afiin, miskin, lemah dan mereka yang sedang ditimpa kesulitan. Ini menandakan dimensi ibadah dalam Islam tidak melulu vertical oriented, tapi juga mencakup hubungan horizontal, yaitu hubungan terhadap sesama.
Untuk itulah ibadah kurban sejatinya mengakar kokoh di bumi dan tidak hanya menggantung di langit. Ibadah kurban berbeda dengan persembahan (offerings) seperti dalam berbagai tradisi agama selain Islam. Sebab Allah Swt tidak memakan daging. Darah dan daging itu hanyalah sarana untuk mendekatkan mereka yang kaya dengan yang miskin. Sebagaimana Al-Qur’an menyeru “… lalu makanlah sebagian dari dagingnya dan berilah makan (dengan bagian yang lainnya) orang fakir dan sengsara” (QS. Al-Hajj/22:28).
Bahkan predikat takwa baru bisa diperoleh manakala seorang muslim bersedia menginfakkan hartanya. “Kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada suatu kebaktian yang sempurna sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai” (QS. Ali-Imron/3: 92). Kurban (Qurbaan), sesuai makna generiknya “mendekatkan”; ia mendekatkan umat Islam kepada Allah Swt dan manusia sekaligus.
Spirit yang terkandung dalam ibadah kurban sepatutnya menjadi kritik terhadap model keberagamaan kita selama ini. Dalam lanskap yang lebih luas, kesadaran ketuhanan sebagaimana terkandung di dalam ibadah kurban, mesti diterjemahkan dalam kerangka sosial kemasyarakatan yaitu memangkas kesenjangan di bawah sistem kapitalistik yang menghisap. Secara teologis, perintah penyembelihan mengisyaratkan manusia untuk menyembelih syahwatnya yang kemudian bergerak mengoreksi kehidupan sosial, ekonomi maupun politik agar lebih berkeadilan.
Syahwat itu berupa sifat dan sikap rakus dan zalim. Berapa banyak rakyat yang harus menelan kenyataan pahit terusir dari kampung halamannya akibat kerakusan modal pemodal yang berlindung di balik dalih pembangunan. Berapa luas alam lestari yang akhirnya hilang dan digantikan dengan tiang pancang beton sebagai penyangga gedung-gedung, pabrik hingga industri ekstraktif. Semua digusur akibat lalimnya pemimpin.
Kita tahu, di Banyuwangi kala Gunung Tumpang Pitu yang seharusnya menjadi benteng alam, kawasan penyangga, dan pusat kehidupan rakyat harus dirampas oleh rakusnya korporasi. Kita tentu, masih ingat bagaimana tanah leluhur di Urutsewu Kebumen, Sumberanyar, Alastlogo di Pasuruan, dan wilayah lainnya yang terancam dirampas oleh militer, atas dalih telah memiliki lahan tersebut. Padahal umatlah yang sejak awal mendiami, lahir, tumbuh dan meninggal di sana. Mereka yang menghidupi lahan, merawat dan menjaganya. Tetapi, umat harus terancam keberadaannya.
Maka, dengan demikian, Idul Adha tidak boleh hanya sekedar menjadi ibadah simbolik. Ia harus menjelma menjadi laku spiritual berupa penyembelihan potensi syahwat manusia sebagai penghisap, pembohong, perampok, penipu dan menggantikannya dengan perbuatan terpuji; mengedepankan solidaritas, memangkas kesenjangan hingga turut serta menanggung derita saudara sesamanya.
اللهُ أكْبَرُ اللهُ أكْبَرُ اللهُ أكْبَرُ، لا إِلهَ إِلاَّ اللهُ واللهُ أكْبَرُ اللهُ أكْبَرُ وَِللهِ الحَمْدُ
Biro Agitasi dan Propaganda Komite Nasional FNKSDA