Laporan Penyelenggaraan Konferensi Reforma Agraria 2018 Semarang
Semarang, 12-14 September 2018
Forum Konferensi Reforma Agraria
Yang terhormat: saudara-saudara petani dari organisasi tani, saudara-saudara yang tidak punya organisasi, tani gurem, saudara-saudara yang masih berada di penjara justru karena membela hak atas tanah di hadapan proyek, saudara semua perempuan dan laki-laki, yang hutan, ladang, sawah, tegalan dan kampung halamannya sudah atau akan diporak-porandakan oleh traktor investasi.
Berikut adalah laporan singkat tentang Konferensi Reforma Agraria 12-14 September 2018 yang baru saja ditutup. Selama tiga hari, lebih dari tujuhpuluh peserta konferensi mempertukarkan cerita tentang bagaimana pengalaman sehari-hari menjadi petani di tengah gempuran pembangunan yang berwatak merendahkan martabat manusia, mengusir, dan membongkar.
Diskusi di hari pertama mempertukarkan pengalaman nyata dalam sejarah konflik tanah di Indonesia dan di negara-negara bekas jajahan lainnya. Tanpa kolonisasi ruang-ruang hidup, tidak akan ada garis-depan untuk investasi industri. Untuk memperkuat keamanan investasi korporasi-korporasi raksasa di negara-negara seperti Indonesia, pada saat ini tengah berlangsung manipulasi kesepakatan-kesepakatan baru, yang menjadikan negaranegara terutama negara kaya keaneka-ragaman hayati di sabuk katulistiwa, sebagai obyek dari berbagai instrumen pemantauan wilayah dan kegiatan manusia, pelaporan, verifikasi, pengumpulan pengetahuan tentang kekayaan biologis wilayah, dan sasaran dari pembesaran rerantai keuangan dunia.
Di hari kedua konferensi, arti penting reforma agraria diperiksa dengan tajam dari penglihatan berbagai agama, karena tanah punya makna spiritual bagi manusia khususnya petani. Ketiga pemantik diskusi menguraikan secara tajam bahwa kitab pegangan yang menjadi acuan dalam Islam, Protestan dan Katholik mengemukakan dengan jelas asas “tanah bagi yang menggarapnya.”
Di hari ketiga konferensi, peserta mendiskusikan dimensi politik dan kepentingan-kepentingan ekonomi di balik proses-proses politik yang seolah-olah netral dan normatif. Kita tidak bisa bicara reforma agraria kalau kita tidak juga memperbincangkan praktik oligarki ekstraktif yang selama ini bertanggung jawab atas ketidak-adilan agraria dan perampasan tanah, melalui perluasan kebun sawit, pertambangan, infrastruktur, properti, perdagangan karbon dan modus-modus ekstraksi finansial lainnya. Apalagi dengan memberikan ruang kepada elit oligarki nasional untuk bicara reforma agraria, yang berperan penting dalam melancarkan privatisasi proses-proses legislasi.
Infrastruktur ekonomi digenjot, infrastruktur demokrasi ditumpas dan disubversi. Politik pemilihan pengurus kantor-kantor negara lima-tahunan adalah mekanisme ijon politik, yang penting dalam melanggengkan perampasan tanah beserta bahan-bahan mentah yang dikandungnya. Tidak mungkin kita serahkan pelaksanaan reforma agraria pada pengurus negara yang justru secara sistematis melancarkan perampasan tanah besar-besaran. Rencana anggaran belanja infrastruktur di tahun 2018 ini adalah 409 Triliyun rupiah, di mana Rp. 395,1 triliun (96.6%) dipersembahkan untuk pembangunan infrastruktur ekonomi, sementara untuk infrastruktur sosial hanya Rp. 9 triliun, dan untuk “dukungan infrastruktur” sebesar Rp.4.9 triliun. (CNN Indonesia, 16/08/2017).
Pemantik dan peserta diskusi juga mengemukakan berbagai kenyataan yang membuktikan bahwa kata “pembangunan” yang masih terus dipakai untuk menyiapkan rencana-rencana resmi penguasaan tanah berskala besar, di dalam kenyataan sehari-hari senantiasa berwujud penggusuran, kriminalisasi petani dan penguasaan tanah.
Pemaparan dan diskusi selama tiga hari Konferensi tentu juga menyoroti secara kritis sebuah acara pertemuan ganjil yang dipentaskan di Bandung yaitu “Forum Tanah Dunia”/FTD, sebuah perhelatan dari sebuah koalisi yang tak kalah aneh namanya, “Koalisi Tanah Internasional”. Tidak ada petunjuk berupa kata kerja apapun pada keduanya. Tanah seolah-olah didudukkan sebagai subyek, bisa ngobrol-ngobrol menentukan harganya sendiri per hektar, dan memutuskan kelanjutan nasibnya sendiri tanpa manusia. Yang disembunyikan di sini adalah puluhan badan-badan pengaliran uang/dana di balik koalisi maupun forum dari beberapa negara Eropa, di samping Dana Pertanian Internasional (IFAD), Korporasi Keuangan Internasional (IFC)-tangan kanan Bank Dunia untuk mendukung investasi swasta di negara berkembang, Fasilitas Pendanaan Kuasa atas Tanah (Tenure Facility), beserta jejaring kontraktor-kontraktor utamanya semacam Institut Hak-Hak dan Sumber-Daya (RRI) atau Institut Sumber-Daya Dunia (WRI).
FTD hanya satu di antara lusinan rapat-rapat raksasa tahunan atau bahkan semi-tahunan lainnya yang telah berlangsung selama lebih dari duapuluh tahun belakangan, dengan beraneka ragam tema dan kata-kata kunci yang mengandung unsur hutan, tanah, hak masyarakat asli dan masyarakat setempat. Umumnya hasilnya berupa “rencana-rencana strategis”, lagi-lagi untuk tanah dan untuk hutan, dengan jangka waktu rencana yang lebih masuk akal sebagai rencana investasi daripada rencana pemulihan atau rencana penghentian industri lapar tanah seperti tambang, perhutanan, perkebunan pangan atau energi-nabati. Rapat-rapat akbar tersebut berjalan seiring dengan penggelontoran uang dalam jumlah puluhan milyar dolar, untuk menggerakkan ratusan proyek-proyek nyata di “negara-negara sedang berkembang” yang konsentrasinya berada di sabuk tropis.
Tidak terlampau sulit untuk mengerti apa sih sebetulnya Forum Tanah Dunia ini. Siapa pemilik acaranya? Koalisi Tanah Internasional (International Land Coalition/ILC), adalah sebuah wahana (kendaraan) bentukan IFAD (Dana Pembangunan Pertanian Internasional), di bawah Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO). ILC bertujuan mempertemukan investor dengan perhimpunan-perhimpunan masyarakat sipil serta manajer negara disamping ILC, berbagai wahana dan cukong lain ikut berperan penting dalam putaran Forum Tanah Dunia. Rencana besar untuk mengamankan perluasan investasi di tanahtanah yang hendak diduduki membutuhkan kolaborator, terutama organisasi-organisasi kemasyarakatan dan organisasi “konservasi alam“, yang selaras tindakannya dengan kepentingan finansialisasi dan komersialisasi Bumi beserta manusianya.
Apa yang hendak dirayakan ? Slogan FTD bersisi tiga: “hak atas tanah,” “perdamaian” dan “keadilan.” Ketiganya sesungguhnya berkaitan erat dengan kepentingan pemilik dan penguasa kapital keuangan dunia untuk membangun sistem dan infrastruktur keuangan dunia yang lebih bisa menjamin keberlangsungan investasi di negara-negara sedang berkembang. Apakah betul bahwa organisasi-organisasi penguasa keuangan internasional di atas sungguh-sungguh perduli atas makin parahnya kerusakan hutan maupun keutuhan kehidupan masyarakat asli ? Pada tanggal 22 Maret 2018 yang lalu 200 organisasi menyerahkan surat kepada FAO, menuntut FAO untuk mengubah definisi hutan yang menyesatkan. Definisi tersebut–telah dipakai sebagai dasar bagi lebih dari 200 definisi hutan nasional dan internasional sejak 1948, memungkinkan perkebunan monokultur untuk dikelompokkan sebagai hutan, dan proyek penguasaan hutan menjadi perkebunan serta penguasaan tanah pertanian sebagai “restorasi hutan” atau “pertanian tanggap iklim.”
Hak atas tanah ?
Kita harus rumuskan lebih jauh apa yang hendak kita maksud dengan hak-hak. Hak-hak adalah soal martabat dan hak-hak muncul sebagai reaksi terhadap penindasan, diskriminasi, atau hilangnya sumber-hidup. Protokol untuk “mengamankan kepentingan masyarakat asli” menggunakan kata-kunci “persetujuan sukarela dengan pemberitahuan sebelumnya,” bukan hak veto atas investasi. Hak-hak adalah sesuatu cita-cita untuk direbut, bukan hadiah dari PBB, apalagi dari World Bank atau organisasi-organisasi konservasi internasional. FTD berlangsung di atas kenyataan sehari-hari bahwa Hak-hak Asasi Manusia dan hak-hak Alam harus tunduk pada kapital & pada hak-hak bisnis dan keuangan. Hak-hak kolektif dan teritorial jadi “forest governance” atau “pengurusan hutan“. Hak-hak menjelma jadi “standar-standar.” Hak perempuan jadi “pengaman investasi yang dipenuhi secara sukarela“. Hak-hak lain jadi “partisipasi dan keterlibatan dalam pelaporan dan pemantauan.” Ikatan di antara penduduk yang hidup di atas tanah-tanah yang hendak diduduki dengan tanahnya harus digantikan dengan status hukum yang berlaku secara internasional, agar terjamin status hukum dari pendudukan atau penguasaan tanah. Lupakan ikatan serba suci dengan tanah yang berdimensi spiritual.
Perdamaian di sini lebih mengacu pada tidak adanya sengketa terbuka dengan warga tani hutan maupun tani-olah di wilayah sabuk katulistiwa Bumi. Sejak 1990an jejaring para kontraktor dari badan-badan penguasa keuangan internasional menengarai membengkaknya biaya transaksi investasi atas tanah, untuk mengatasi sengketa tanah dengan penduduk. Perdamaian dimaksudkan sebagai semacam kesepakatan bagimanfaat di antara investor dengan penduduk, sehingga masalah “resiko pendudukan tanah,” bagi investasi bisa diperkecil. Bagi keuntungan dari proyek investasi dalam siaransiaran organisasi-organisasi penguasa keuangan raksasa diperlukan supaya penduduk memberikan restu pada investasi, dan jangka waktunya terbatas.
Tidak ada keadilan dalam keberlangsungan dan perluasan sistem pasar keuangan global. Keadilan agraria mempersyaratkan proses politik yang sepenuhnya melibatkan subyek pengolah tanah atau tani. Di lain pihak, perluasan sistem pasar keuangan global mempersyaratkan kepatuhan dan keikhlasan warga tanah yang hendak dikenai investasi, keamanan status hak investor atas tanah yang didudukinya, dan terkendalikannya biaya transaksi investasi atas tanah. Konflik merupakan risiko investasi atas tanah, dan oleh karenanya harus ada sistem dan instrumen pemaksa yang mengikat secara hukum di negara-negara sasaran pendudukan tanah, untuk mencegah naiknya konflik terbuka yang makan ongkos. Kesetiaan penduduk asli (setempat) pada investor hendak diamankan lewat bagi keuntungan melalui mekanisme bank (keuangan).
Siapa yang disebut-sebut tapi tidak ditanya kehendaknya, apalagi ditanya kesepakatannya ? Pihak pertama adalah sang Petani, si miskin, tokoh drama yang dipercakapkan dalam FTD.
Nyatanya, selama ini petani tidak punya ruang untuk menyatakan hak vetonya atas perampasan tanah atau pengusiran penduduk atas nama kepentingan proyek. FTD memang bukan forum atau rapatnya petani, dan oleh karenanya mustahil diharapkan berniat merombak semua ketetapan hukum untuk pengurusan tanah untuk kepentingan jangka-panjang rakyat, bukannya kepentingan korporasi atau proyek.
FTD juga hendak bicara-bicara soal “panduan suka-rela atas pengelolaan penguasaan tanah” (VGGT/Voluntary Guidelines on the Responsible Governance of Land Tenure). Judul menyejukkan di atas kertas tersebut mengalihkan perhatian dari isinya, di mana dia hendak diterapkan, yaitu pada lima golongan proyek baru maupun lama, bukan pada wilayah-wilayah bersejarah tempat penduduk tani bermukim. Jangankan bertanggungjawab, perumusannya dan rencana-rencana pelaksanaannya pun dirundingkan tanpa penduduk tani, jauh dari lokasi perdesaan dan perkotaan yang hendak dikenai proyek.
Di mana proyek investasi butuh tanah sudah tentu vital bagi investor. Tanpa kepastian letak, ukuran berapa kali berapa meter atau berapa hektar, tidak ada keamanan atas penguasaan tanah. Peta dibutuhkan, sangat dibutuhkan. Itulah sebabnya, uang berjuta-juta dolar harus dan sudah dialirkan ke Indonesia untuk memetakan di mana penduduk tani rimba atau tani-olah berada.
Selama konferensi, petani peserta konferensi mengemukakan pengalaman dikorbankan oleh proyek-proyek pertambangan, pembangunan infrastruktur dan pembangunan kota-kota properti. Sampai sekarang tidak ada tanda-tanda apapun bahwa akan terjadi pembalikan sikap untuk menebus ketidak adilan dan kejahatan terorganisir terhadap mereka. Pihak kedua adalah segenap sistem-sistem kehidupan di Bumi yang bahkan tidak punya juru bicara. Segala bentuk kehidupan dan proses-proses daur hidup yang menjamin keberlangsungan kehidupan di Bumi sekarang dibubuhi nilai uang, dimanipulasi dan dihitung-hitung sebagai barang dan proses dagang atau ekonomi. Sementara hak dan bagi manfaat hendak dibicarakan dengan penduduk tani, proyek pengerukan sumber energi jorok yang sedang merontokkan keselamatan Bumi, termasuk minyak-bumi, gas dan batubara, diam-diam diteruskan tanpa minta pendapat penduduk.
Apakah kehadiran kepala-kepala negara dalam FTD bisa ditafsirkan sebagai komitmen untuk menghentikan perluasan pencaplokan lahan di seluruh negara sabuk tropis oleh investasi dan pasar tanah global atau sebaliknya ?
Proyek membutuhkan reforma agraria yang menjamin investasi. Tapi pikiran yang waras mengatakan, pengadaan tanah untuk proyek tidak mungkin berdamai dengan kepentingan jangka panjang rakyat tani, apalagi di sabuk tropis.
Semoga Sang Maha Pencipta sebagai pemilik kehidupan senantiasa melindungi dan menjaga Bumi dan penduduknya.
2 thoughts on “Laporan Penyelenggaraan Konferensi Reforma Agraria 2018 Semarang”