Meluruskan Narasi Ketimpangan Agraria
Oleh: Mohamad Shohibuddin*
(Sajogyo Institute & Pegiat FNKSDA)
Seusai debat calon presiden kedua pada 17 Februari 2019, isu ketimpangan agraria ramai diperdebatkan publik. Di satu sisi, calon presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto, dituding kubu capres nomor urut 01, Joko Widodo, sebagai bagian dari elite yang menguasai separuh lebih kekayaan nasional di bidang agraria dan karena itu tidak punya legitimasi moral untuk menggugat isu ketimpangan. Sebaliknya, kubu pendukung capres 02 mengkritik redistribusi tanah yang dibanggakan Jokowi sebagai petahana, hanya sertifikasi tanah belaka tanpa merombak struktur agraria yang timpang.
Munculnya isu ketimpangan agraria dalam perdebatan publik sebenarnya sangat positif karena telah menggugat ironi terbesar reformasi, yaitu bahwa proses demokratisasi politik justru telah mempertajam kesenjangan sosial-ekonomi. Di sektor kehutanan, misalnya, dari total 26,17 juta ha lebih izin usaha pemanfaatan hutan (HPH dan HTI), 90,74% di antaranya terbit dalam dua dekade terakhir.
Demikian pula, 92,9% dari 563 ribu ha lebih izin pinjam pakai kawasan juga terbit di era yang sama (KLHK 2018). Sebagian besar alokasi ini diperuntukkan untuk korporasi. Sayangnya, karena artikulasinya yang bersifat polemis, baik kritik atas program redistribusi tanah Pemerintahan Jokowi maupun lontaran tentang konsesi tanah skala luas yang dikuasai capres no urut 02 sama-sama tidak menyasar inti persoalan dari ketimpangan agraria.
Ketimpangan Distribusi
Berbicara mengenai ketimpangan agraria, dua jenis ketimpangan berikut harus dibedakan agar isu ini bisa dibahas secara lebih jernih. Pertama adalah ketimpangan distribusi, yakni kesenjangan penguasaan lahan antar-kelas di dalam sektor usaha tani rakyat. Kedua adalah ketimpangan alokasi, yakni kesenjangan peruntukan sumber-sumber agraria antar-sektor, yakni antara yang dialokasikan untuk korporasi dan untuk rakyat (Shohibuddin 2019).
Berdasarkan Sensus Pertanian 2013 (BPS 2014), jumlah rumah tangga petani (RTP) di Indonesia mencapai 26,13 juta lebih. Dari jumlah ini, 55,95% adalah petani gurem (menguasai lahan < 0,5 ha) dan 31,68% adalah petani kecil (menguasai 0,5-1,99 ha). Sisanya sebesar 12,37% merupakan petani mampu yang terdiri atas 6,21% petani menengah (menguasai 2-2,99 ha) dan 6,16% petani kaya (menguasai > 3 ha).
Dari data sensus ini juga diketahui bahwa total lahan pertanian rakyat mencapai hampir 22,428 juta ha. Sebagian besar (38,49%) lahan pertanian rakyat ini dikuasai oleh hanya 6,16% petani kaya yang rata-rata menguasai lahan seluas 5,37 ha. Di posisi berikutnya, 33,77% lahan rakyat ini dikuasai petani kecil dengan rata-rata penguasaan lahan 0,91 ha. Lalu, 15,8% dikuasai petani menengah yang rata-rata menguasai 2,18 ha. Akhirnya, petani gurem yang merupakan mayoritas petani hanya menguasai 11,94% lahan rakyat dengan rata-rata penguasaan 0,18 ha (Sajogyo Institute 2019). Dari data ini terlihat jelas betapa parah ketimpangan distribusi di sektor pertanian rakyat.
Apabila batas minimum 2 ha dijadikan patokan penguasaan lahan pertanian yang ideal (sesuai UU Land Reform No. 56/1960), ternyata beginilah potret ketimpangan penguasaan lahan yang terjadi: 54,29% lahan pertanian rakyat dikuasai oleh 12,37% golongan petani yang menguasai lahan 2 ha ke atas, sementara 45,71% total lahan pertanian harus menampung 87,63% petani yang menguasai lahan di bawah batas minimum.
Jika data di atas dibandingkan dengan hasil Sensus Pertanian 2003, terdapat beberapa fakta yang menarik. Selama satu dekade ini, jumlah RTP di Indonesia berkurang 5,09 juta lebih (16,32%). Penurunan terbesar terjadi pada golongan petani gurem (mencapai 5,17 juta lebih). Anehnya, golongan petani kecil dan menengah juga berkurang, yaitu berturut-turut sebesar 163.419 dan 54.928. Hanya pada golongan petani kaya terjadi penambahan sebesar 298.832 yang membuat golongan ini bertambah menjadi 1.608.728 (BPS 2014).
Teori modernisasi akan melihat penurunan jumlah RTP ini sebagai suatu hal yang positif dan memang dikehendaki: beban sektor pertanian akan berkurang, RTP yang tertinggal akan bertambah penguasaan lahannya, sementara RTP yang keluar menjadi angkatan kerja untuk sektor industri dan jasa di perkotaan. Namun, asumsi linier semacam ini ternyata tidak banyak terbukti. Sebagai misal, keluarnya 5,17 juta petani gurem tidak diiringi kenaikan petani kecil dan menengah yang justru menyusut sebesar 1,94% dan 3,27%. Jutaan petani gurem itu sendiri keluar bukan karena peluang kerja yang lebih baik di sektor non-pertanian (pull factor), namun lebih karena tidak tertampung di sektor pertanian (push factor). Mereka yang “terlempar” ini terpaksa harus mengadu nasib (dalam arti harfiah istilah ini) ke kota-kota dan bahkan ke manca negara, sebagian harus mengalami nasib tragis seperti dilecehkan secara seksual atau bahkan dihukum mati di luar negeri.
Dengan demikian, apa yang berlangsung selama kurun waktu ini adalah proses kehilangan tanah sama sekali (proses proletarisasi), khususnya pada lebih dari 26% golongan petani gurem. Pada saat yang sama, terjadi proses guremisasi pada sebagian golongan petani kecil serta lapisan terbawah petani menengah yang membuat mereka “turun kelas” ke golongan petani gurem. Sebagian lain berhasil “naik kelas”, yaitu pada lapisan teratas petani kecil yang mengalami proses konsolidasi (ada pertambahan sebesar 1,76% pada golongan penguasaan 1-1,99 ha) dan pada lapisan teratas petani menengah yang mengalami proses ekspansi (ada penurunan sebesar 3,27% karena beranjak naik menjadi petani kaya). Proses ekspansi juga terjadi pada golongan petani kaya itu sendiri sebagaimana terlihat dari pertambahannya yang signifikan sebesar 22,81%.
Dengan mencermati dua arus yang berlawanan arah ini (yakni proses proletarisasi yang meluas pada golongan petani gurem dan sebagian petani kecil di satu sisi dan proses ekspansi yang cukup signifikan pada golongan petani kaya di sisi yang lain) maka sebenarnya pertanian rakyat di Indonesia dewasa ini sedang mengalami kecenderungan polarisasi yang cukup serius.
Kondisi ketimpangan distribusi seperti diuraikan di atas adalah cerminan dari stagnasi transformasi agraria di Indonesia akibat tidak dijalankannya kebijakan land reform secara serius. Padahal, land reform adalah mekanisme menciptakan apa yang dalam wacana kebijakan sosial disebut “keadilan dalam peluang”, yaitu melalui jaminan titik tolak yang relatif sama bagi semua petani. UU No 56/1960 menerjemahkan “titik tolak yang relatif sama” ini dengan mengupayakan penguasaan 2 ha sebagai batas minimum usaha tani rakyat.
Ketimpangan Alokasi
Dalam UU Pokok Agraria, “keadilan dalam peluang” ini disertai dengan dorongan mewujudkan “Segala usaha bersama dalam lapangan agraria atas dasar kepentingan bersama dalam rangka kepentingan nasional, dalam bentuk koperasi atau bentuk-bentuk gotong royong lainnya” (Pasal 12 ayat (1)). Atas dasar ini, konsesi tanah berupa Hak Guna Usaha (HGU) bisa diberikan kepada koperasi atau kolektivitas lain milik rakyat untuk pengembangan usaha bersama komersial di bidang agraria.
Dengan demikian, ada dua jalur yang dibayangkan UUPA untuk mewujudkan transformasi agraria. Pertama, pembentukan kelas petani menengah yang kuat dengan penguasaan lahan minimal 2 ha yang diupayakan melalui land reform. Kedua, pengembangan usaha bersama pertanian komersial di kalangan masyarakat pedesaan melalui pemberian HGU kepada koperasi atau kolektivitas usaha rakyat lainnya. Tentu saja, HGU bisa diberikan kepada korporasi (Pasal 12 ayat (2) dan penjelasannya), namun bukan berarti pihak terakhir ini menjadi prioritas utama.
Pada kenyataannya, dua jalur transformasi agraria inilah yang terus diingkari. Selama lebih dari lima dekade pasca-Soekarno, semua rezim yang memerintah selalu bertumpu pada kekuatan modal besar termasuk yang dimiliki asing. Akibatnya, kondisi ketimpangan agraria bertambah parah, khususnya ketimpangan alokasi. Jika ketimpangan pertama ditandai oleh penguasaan 54,29% areal pertanian rakyat oleh hanya 12,37% RTP dari golongan menengah dan kaya, maka kondisi lebih buruk terdapat pada ketimpangan alokasi.
Joyo Winoto saat masih menjabat Kepala Badan Pertanahan Nasional pernah menengarai bahwa 56% aset nasional berupa tanah dikuasai oleh hanya sekitar 0,2% elite ekonomi (Winoto 2007). Yang menarik, simpanan uang di lembaga perbankan nasional memiliki proporsi ketimpangan yang angkanya nyaris sama: 56,87% dari total simpanan uang dikuasai oleh hanya 0,11% pemilik rekening kaya dengan simpanan > Rp 2 miliar (LPS 2017). Hal ini mengindikasikan bahwa kemakmuran segelintir elite itu diperoleh dari penguasaan sumber-sumber agraria dan eksploitasi berbagai kekayaan alamnya.
Di sektor kehutanan, ketimpangan alokasi ini amat mencolok. Dari semua jenis alokasi kawasan hutan, 40,46 juta ha lebih (95,76%) jatuh ke korporasi, hanya sekitar 1,74 juta ha (4,14%) diberikan untuk rakyat, dan lebih sedikit lagi (41,2 ribu ha atau 0,1%) untuk kepentingan umum. Ironisnya, ketimpangan agraria ini naik pesat di era reformasi, khususnya selama pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono (2004-2014). Dalam periode kepemimpinan SBY ini telah terbit izin pinjam pakai kawasan hutan seluas 307.848,41 ha (54,63%), izin pemanfaatan hutan untuk HTI seluas 4.707.640 ha (46,93%) dan untuk HPH 10.220.493 ha (63,33%).
Di luar kawasan hutan, ketimpangan alokasi yang tajam juga ditemukan dengan tak kalah tajamnya. Hingga 2016 luas HGU untuk perkebunan skala besar telah mencapai 15 juta ha lebih dengan 1,034 juta ha di antaranya dalam kondisi terlantar. Selain itu, terdapat hampir 3,58 juta ha izin lokasi yang haknya belum dikeluarkan dan juga dalam kondisi terlantar (KATR/BPN 2017). Apabila konsesi tambang diperhitungkan, ketimpangan alokasi ini akan lebih tajam lagi. Sebab, konsesi ini bisa mencakup kawasan hutan dan non-kawasan hutan.
Relevankah RAPS?
Dengan demikian, tantangan program Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial (RAPS) yang sedang dijalankan pemerintah saat ini adalah sejauh mana ia bisa merespons dua jenis ketimpangan agraria di atas sekaligus. Karena itu, kritik-kritik yang beredar di wacana publik atas program redistribusi tanah yang dijalankan pemerintah maupun atas penguasaan konsesi tanah skala luas oleh capres Prabowo hanya akan bermakna jika hal itu bukan sekedar polemik kampanye Pilpres, melainkan benar-benar diletakkan dalam rangka membongkar dan membenahi dua jenis ketimpangan agraria tersebut.
Oleh karena itu, pertanyaan mengenai relevansi dari RAPS ini akan sangat ditentukan oleh sejauh mana arah dan dampak perubahan yang diciptakannya bersifat korektif, netral atau justru memperparah kedua jenis ketimpangan yang diuraikan di atas. Apabila RAPS berhasil mempersempit jurang kesenjangan antar-kelas dan antar-sektor, barulah ia dapat disebut “reforma agraria sejati.” Tetapi jika dampaknya tidak mengubah apa-apa (status quo), maka sebenarnya ia adalah “reforma agraria palsu”. Apalagi jika ia justru memperdalam ketimpangan yang ada, maka di sini ia dapat dikecam keras sebagai kebijakan “anti reforma agraria.”
Sebelumnya, versi lebih ringkas telah dimuat di Kompas, pada 2 Maret 2018