Browse By

Bhâk-rembhâk Kènè’ FNKSDA, BATAN dan PATOT

Bhâk-rembhâk Kènè’: adalah tempat ngobrol para petani, nelayan, buruh, dan kaum mustadh’afin, yang selama ini terbungkam dan dilumpuhkan oleh narasi-narasi infrastruktur dan neo-liberalisme.

**

“Bhâk-rembhâk” adalah bahasa Madura yang berarti: musyawarah rembuk/saling tukar wawasan. Sedangkan “Kènè’” berarti: kecil. Tetapi dalam konteks ini dapat diterjemahkan secara bebas menjadi: ringan. Jadi “Bhâk-rembhâk Kènè’” berarti, “rembuk-rembuk ringan”.

Terlepas dari pengertian secara bahasa ini, “Bhâk-rembhâk Kènè’” dalam kosmologi orang kampung juga menjadi simbol persatuan, perekat silaturrahim, yang melibatkan antar warga, dari berbagai lapis genarasi, dari tiap-tiap wilayah, yang di dalamnya, sejimbun persoalan (tentang dirinya) dibahas satu persatu. Mulai dari ketimpangan sosial, pertanian, upah buruh menimum, perampasan urang hidup, dst.

Sebagai ruang pemecahan masalah, “Bhâk-rembhâk Kènè’” menjadi sakap kritis, sikap revolusioner, sikap berlawan, dari setiap problem material yang membelit para warga. Di tengah ruang inilah pula, semua rakyat yang terlibat, ia merayakan pengetahuaannya sendiri, merdeka dari pen-dikte-an “ilmiaisasi” modern-skuler, yang selama ini hanya selalu mendudukkan mereka selalu sebaga objek percobaan yang pasif.

“Bhâk-rembhâk Kènè’” adalah upaya membalikkan keadaan tersebut: karena di lingkaran ini, semuanya menjadi subjek, berhak mendfinisikan dirinya sendiri, berhak memperjuangkan kedaulatannnya sendiri.

Ya, tepat dalam pengertian seperti ini, “Bhâk-rembhâk Kènè’” di pinggir ladang, beralaskan tikar menjadi “mimbar” baru untuk menulis ulang sejarah kita sendiri, merakit ulang gerakan kita sendiri dan menyusun ulang pengetahuan kita sendiri, yang selama ini lebih banyak dikampanyekan secara ilmiah dan politis untuk kepentingan kelas elit dan statu quo, dibandingkan untuk kita sendiri, rakyat-rakyat kecil.

Dan yang paling penting, di sini tidak ada cebong dan kampret, meliter perampas buku, berjuis kelaparan, atau para caleg gadungan. Yang ada hanya barisan rakyat marginal, yang berusaha menata kembali hidup dan kedaulatannya yang selama ini terampas.

*Disadur dari laman facebook Roychan Fajar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *