Browse By

Pengantar Ekonomi Politik dalam Memahami Ekspansi Kilang Minyak di Jenu Tuban

Wahyu Eka. S (Pegiat FNKSDA)

Sekitar enam hari lalu, warga di empat desa di Kecamatan Jenu melakukan aksi di DPRD Kabupaten Tuban. Peserta aksi yang berjumlah kurang lebih 800-1000 orang, memadati gedung perwakilan rakyat untuk menagih janji manis para anggota dewan yang terhormat. Rakyat, sudah terlampau bosan dengan manipulasi-manipulasi pernyataan sesat, yang seolah-olah pro rakyat, namun pada praktiknya nol besar. Pasalnya mereka selalu berjanji untuk menyelesaikan persolan rakyat, terutama terkait ekspansi kilang minyak yang diklaim milik pemerintah. Atas dalih kesejahteraan, modernitas dan kedaulatan, tanah-tanah rakyat terancam digusur dan mereka akan kehilangan sumber penghidupan utama mereka.

Problem ekspansi industri menjadi salah satu ciri khas dari perkembangan kapitalisme, di mana ia akan meluas sesuai kebutuhan akumulasi mereka. Relasi produksi-konsumsi tidak bisa dilepaskan dari proses ini. Adanya kilang minyak tentu sangat relasional dengan substansi permintaan, sehingga memunculkan penawaran. Kilang minyak sebagai salah satu entitas produksi akan menghasilkan komoditas yang nantinya dijual untuk akumulasi profit. Mereka membutuhkan ruang untuk produksi, dan ruang untuk mengambil bahan mentah. Secara singkat, adanya kilang minyak tak bisa lepas dari ekspansi industri migas di area hulu, karenanya di wilayah hilir muncul wacana kilang minyak.

Berangkat dari argumentasi tersebut, kita bisa membaca pola-pola yang akan dijalankan guna mengeksekusi hal tersebut. Pertama, kita tidak bisa melepaskan wacana ekspansi kilang minyak di sekitar wilayah Remen, Mentoso, Wadung dan Sumurgeneng, Kecamatan Jenu, Kabupaten Tuban, dengan kebijakan politis terkait sumber daya alam. Nasional menetapkan wilayah tersebut sebagai kawasan produksi, sementara daerah ialah eksekutor untuk memuluskan ketetapan nasional. Perlu diketahui jika Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional mengamanatkan pembangunan berkelanjutan guna menunjang sektor pertambangan, khususnya migas. Maka salah satu mandatnya ialah pembangunan sarana dan prasarana.

Lebih lanjut dalam RTRW Jawa Timur pada pasal 40 poin ke 6, Tuban menjadi wilayah yang masuk dalam wacana pengembangan sarana dan prasarana terkait migas, baik pipa maupun penunjang lainnya. Hal ini relasional dengan pasal 79 terkait kawasan pertambangan, di mana pada poin ke 6 soal kawasan pertambangan migas, Tuban menjadi salah satu daerah yang diutamakan. Selanjutnya, pada pasal 92 menyoal kewenangan pemerintah pusat terkait Kawasan Strategis Nasional (KSN), Tuban masuk dalam rencana kawasan khusus pertambangan migas.

Sementara jika kita baca pada RTRW Kabupaten Tuban, pada pasal 43 terkait Kawasan Peruntukan Pertambangan, mencakup seluruh wilayah di Kabupaten Tuban. Sementara dalam konteks wilayah Jenu memang masuk dalam semua skema pengembangan saran-prasarana migas, ini tertulis pada pasal 22 terkait Jaringan Pengembangan Sistem Energi. Jikalau membaca skema regulasi baik nasional maupun daerah, memiliki irisan logis mengapa pemerintah baik pusat maupun daerah sangat ngotot mengambil alih tanah warga Jenu.

Kedua, perihal pengelola dan mandat nasional. Kita tahu bahwa wacana-wacana pembangunan kilang minyak selalu dikaitkan dengan konstruksi pembangunan, akselerasi kesejahteraan dan wacana kedaulatan energi untuk rakyat. Sehingga asumsi yang ditampilkan sebagai argumentasi pamungkas untuk mengeksklusi rakyat ialah kepentingan negara dan bangsa. Karena proyek nasional maka dikelola BUMN yakni pertamina. Tetapi apakah itu untuk rakyat? Tentu ini menjadi kontestasi serius, apalagi jika para intelektual pro-status quo berbicara maka dengan mati-matian akan membela perihal pembangunan kilang minyak.

Perlu diketahui, pertamina bekerja sama dengan rosneft salah satu perusahaan multinasional dari Rusia. Secara gerak dasar dalam ekonomi pro-pasar, maka apa yang dilakukan pertamina merupakan salah satu kerjasama simbiosis mutualisme. Di mana ada keuntungan yang dibagi-bagi sesuai dengan kesepakatan, lantas apakah semua masuk ke negara? Tentu tidak, ada analisis ekonomi yang kompleks kalau mendedah soal itu. Klaim selanjutnya ialah Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan absorsi tenaga kerja, tentu ini pola klasik yang terjadi. Klaim mendapatkan untung lebih demi kepentingan bersama, tidak sebanding dengan tanah yang akan mati perlahan dan juga rakyat yang lambat laun akan teralienasi bahkan tereksklusi dari wilayah leluhurnya. Mari kita berefleksi apakah indikator kesejahteraan itu hanya diukur dari tingginya suatu angka? Lalu, bagaimana valuasi kerugian secara sosial-ekologis?

Menyoal tentang Corporate Social Responsibilities (CSR), perlu diketahui entitas CSR hanyalah salah satu manipulasi kapital untuk terlihat baik dan terkesan pro-rakyat. Ini hanya salah satu wajah kapitalisme yang seolah-olah pro-sosial di tengah akumulasi profitnya. CSR lahir dari skema korporasi yang kerap melanggar HAM, sehingga muncul suatu kesepakatan pemotongan keuntungan untuk disumbangkan ke rakyat. Misalnya, sekitar 1-2% total keuntungan korporasi akan diberikan ke rakyat dengan skema pemberdayaan, pengembangan komunitas dan kerja-kerja filantropis lainnya, tetapi itu tak sebanding dengan eksploitasi yang mereka lakukan. Jika mereka baik, tentu perusahaan tersebut akan memanusiakan buruhnya, tidak mengikuti skema pasar, hanya memproduksi suatu komoditas berdasarkan kebutuhan esensialis bukan mengikuti intervensi pasar. CSR sendiri secara hitung-hitungan juga dirancang tidak merugikan korporasi sepeserpun, bahkan kalau bisa menguatkan keuntungan si korporasi. (Silahkan baca https://www.economist.com/business/2004/01/22/two-faced-capitalism).

Ketiga, mengenai kejahatan oligarki dalam eksekusi kilang minyak. Kita bisa membaca dari sosialisasi pengadaan tanah yang bersumber pada UU No. 2 Tahun 2012, terkait pengadaan tanah untuk negara. Undang-undang tersebut memang lahir dari kesepakatan oligarki politik dan ekonomi, guna memuluskan proyek-proyek besar. Sebagai salah satu cara represif dan opresif guna melawan rakyat yang tak mau patuh. Negara akan mengambil paksa tanah sesuai aturan, sederhananya akan dititipkan di pengadilan atau dikenal dengan skema konsiyasi. Masih ingat Kulon Progo? Mereka akan mengeksproriasi tanah rakyat, dan secara tidak langsung rakyat akan tereksklusi dengan sistematis. Lantas, di mana demokrasi kerakyatan?

Keempat, wacana pembangunan kilang minyak di Jenu atau ekspansi industri di Tuban, sangat kontradiktif dengan wacana pemertahanan ruang hidup atau menjaga ruang hidup agar kontinyu, guna keberlangsungan hidup rakyat. Tanah merupakan entitas utama dalam pemertahanan ruang hidup, baik dalam aspek ekonomi, ekologis ataupun sosial. Selain kontraproduktif dengan wacana kedaulatan pangan, juga sangat kontradiktif dengan gaung kelestarian lingkungan hidup. Selain itu juga berkontradiksi dengan UUD RI Tahun 1945 terutama pasal 28 dan 33. Di mana rakyat memiliki hak untuk mempertahankan hidupnya dan rakyat memiliki hak untuk ikut serta dalam pengelolaan sumber daya alam.

Tentu dengan kontradiksi-kontradiksi tersebut, kita bisa memahami bagaimana proses ekspansi dan wacana perampasan tanah di Jenu Tuban, serta gerak kerja skema ekonomi nasional di bawah determinasi pasar yang mana mengarahkan pada perampasan masif ruang hidup, dan demokrasi itu sendiri. Jika mengacu pada UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960, ini sangat paradoks. Alih-alih mendorong landreform dan ingin mewujudkan reforma agraria, malahan yang terjadi ialah tindakan yang tak mencerminkan kepatuhan atas aturan-aturan kolektif yang ada. Apa yang terjadi tersebut, menunjukan adanya tafsir serta implementasi aturan yang mengarahkan kepada kepentingan elite (reduksionisme), bukan kepentingan rakyat seutuhnya.

Klaim pemerintah yang menyatakan kilang minyak atau pertambangan akan membawa kesejahteraan, ternyata sangat paradoks dengan realitas. Alih-alih mendorong kedaulatan rakyat, yang terjadi hanyalah mengakselerasi kedaulatan elite. Lantas di manakah letak Al-Masholih Al Ra’iyah itu sendiri? Lantas apakah ini form dari Hubbul Wathon Minal Iman sejati? Wallahu a’lam bishowab. Semoga pengantar ini membawa kita ke imajinasi utuh, mengapa Hadratus Syeikh KH. Hasyim Asy’ari berujar “Pak Tani Itulah Penolong Negeri.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *