Catatan Diskusi RUU Pertanahan: Menyejahterakan atau Menyengsarakan?
M. Fahmi Saiyfuddin
(Pegiat RPDH Jombang dan FNKSDA Jombang)
10 September 2019, Universitas Pesantren Tinggi Darul Ulum (UNIPDU) Jombang, menggelar diskusi tentang rancangan undang-undang mengenai pertanahan. RUU pertanahan ini merupakan hasil arahan menteri pada 27 Agustus 2019 dan didiskusikan secara publik di meeting room 1 kampus UNIPDU Jombang. Diskusi yang dipantik oleh pemateri Dianto Bachriadi, Peneliti Agrarian Resource Center (ARC) Bandung, dan mantan komisioner Komnas HAM periode 2012-2017. Diskuai ini dihadiri sekitar 100 lebih Mahasiswa UNIPDU, tidak hanya dari internal, namun ada juga dari eksternal, seperti instansi-instansi di sekitar Jombang, Sidoarjo, serta Ponorogo.
Bang Gepeng, sapaan akrab untuk Pak Dianto Bachriadi membuka dengan beberapa pernyataan dari para founding Father Republik Indonesia, salah satunya ialah KH. Hasyim Asy’ari, sang kyai pendiri Nahdlatul ‘Ulama dan Ponpes Tebu Ireng Jombang. Kyai Hasyim pernah mengatakan, “Pak tani itulah penolong negeri… yang boleh dipercaya untuk mengerjakan sekalian keperluan negeri, yaitu di waktunya orang berbalik punggung pada negeri, pak tani itu menjadi sendi tempat negeri didasarkan.”
Kemudian pemateri memaparkan isi dari UUPA 60 yang memiliki beberapa prinsip di antaranya, prisip Nasionalitas, sehingga membatasi pihak asing untuk menguasai tanah, juga kemudian belandaskan hukum adat, serta adanya kepastian hukum. Sebagaimana Gautama dan Hornick (1974: McAuslan 1986: Parlindungan 1991: Wiradi, 2000) UU pasca kolonial sangatlah penting di dalam konteks Indonesia karena sifatnya yang mendasar, komprehensif, melindungi rakyat kecil, mendorong perubahan untuk mencapai kesejahteraan dan keadilan sosial.
Walau demikian UUPA juga masih memiliki kekurangan yakni, masih terlalu banyak mengatur soal “pertanian,” sementara kekayaan-kekayaan alam lainnya belum mendapatkan porsi pengaturan yang setara. Kelemahan lainnya yakni masih kurang jelas dalam mengatur persoalan tanah-tanah adat. Kendati demikian, hal tersebut dikarekan bagaimana keadaan kondisi pasca kemerdekaan dan sebelum tahun 1965.
Melihat Ulang RUU Pertanahan
Setelah menkaji secara mendalam bagaimana isi RUU pertanahan yang akan disahkan pada tanggal 24 september 2019 nanti, sebagaimana Presiden Jokowi menghendaki agar RUU Pertanahan dapat disahkan menjadi UU sebelum masa tugas DPR-RI periode 2014-2019 berakhir (Kompas.com 2/09/2019). Terdapat beberapa problem yang tentu bertentangan dengan apa yang telah dirancangkan oleh para pendiri bangsa. Diantaranya ialah, belum jelas terkait hal yang membedakan dengan jelas antara konsepsi memiliki, menguasai dan menggunakan tanah yang merupakan konsep-konsep umum yang penting atau pokok dalam soal agraria. Sehingga akan sangat melemahankan upaya-upaya pengakuan tanah-tanah adat (pasal 4-7).
Selain itu, banyak pasal yang tidak konsisten bahkan saling bertentangan dan saling meniadakan satu sama lain, misalnya tentang konsep “tanah” (pasal 1 ayat 2) dengan “hak atas tanah” (pasal 8 ayat 3 dan 10 ayat 1), tidak ada penjelasan mengenai jenis-jenis hak atas tanah (seperti Hak milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai). Lalu, pada pasal 16 mengapa jenis-jenis hak tersebut patut diberikan, bahkan bisa muncul “hak atas tanah” yang tumpang tindih, khususnya antara HGB di atas Hak Milik, seperti di pasal 31 ayat 2.
RUU pertanahan juga akan menutup pintu terhadap penyelesaian konflik klaim hak atas tanah, terutama pada tanah-tanah yang telah dinyatakan sebagai aset atau kekayaan Negara (lebih jelasnya pasal 21 ayat 4). Di samping itu di dalam RUU pertanahan tidak ada ketentuan afirmatif untuk memberikan dan melindungi hak-hak perempuan terhadap tanah khususnya sebagai sumber penghidupan.
Buruknya RUU pertanahan juga terlihat pada konteks hak pengelolaan. Pada pasal 1 ayat 7, menyebutkan “Hak Pengelolaan adalah Hak Menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya,” pasal ini sama seperti menghidupkan kembali prinsip Domein Verklaring, yakni sebuah konsep penguasaan tanah, di mana Negara memiliki kuasa mutlak atas tanah yang tidak bisa dibuktikan kepemilikannya.
Satu lagi yang fatal dari RUU ini, yaitu hadirnya Bank Tanah. Lembaga yang dibentuk pemerintahan ini, akan menjadi sebuah badan niaga yang dapat mengkomersialkan tanah yang dikuasainya, justru akan semakin menghambat landreform itu sendiri. Pasal demi pasal yang dijabarkan di RUU Pertanahan sangat sarat ketidakjelasan, bahkan berpotensi mengaburkan apa itu Reforma Agraria, mengenai prinsip, subyek, obyek dan mekanisme pelaksanaannya.
Kesimpulan Diskusi
Perlu dicatat, dalam diskusi yang terangkum dalam paparan di atas, paling tidak akan membawa pada sebuah kesimpulan, apakah RUU Pertanahan itu menyejahterakan atau menyengsarakan? Jika melihat narasi-narasi yang terangkum dari pasal per pasal RUU Pertanahan sangat jauh sekali dari konsep umum Reforma Agraria yang berbicara tentang perombakan total struktur agraria, baik dalam redistribusi, jaminan aset, akses dan keberlanjutan kelola.
Pada peringatan hari tani ke depan, patut untuk direfleksikan mendalam, mengenai apakah asas keadilan masih ada? Atau semakin absurd, karena memperkuat pihak yang sudah kuat, semakin melemahkan pihak yang lemah, seperti menghidupkan kembali prinsip Domein Verklaring.
Maka sudah wajib hukumnya dalam hari tani ini, jika RUU Pertanahan 2019 harus ditolak oleh semua elemen masyarakat. Karena tidak sesuai, bahkan bertentangan dengan UUD 1945 yang diejahwantahkan dalam UUPA No. 5 Tahun 1960. Tentu, aturan-aturan itu harus jelas subjeknya, serta keberpihakannya. Agar cita-cita pembentukan Negara Republik Indonesia untuk mensejahterakan rakyat dan menciptakan keadilan sosial, tidak sekedar absurditas-absurditas permanen.