Catatan Terhadap “Rezim Infrastruktur” Jokowi-Jk
Pernyataan Sikap FNKSDA Sumenep atas Kedatangan Presiden RI, Ir. H. Joko Widodo di Kab. Sumenep
بِسْمِ ٱللّٰهِ ٱلرَّحْمٰنِ ٱلرَّحِيمِ
Setelah mendengar kabar bahwa Presiden RI, Ir. H. Joko Widodo, telah menginjakkan kaki di tanah kabupaten Sumenep ini, kami Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) Sumenep merasa harus memberi catatan terhadap satu periode kepemerintahannya. Mari kita sebut era Jokowi ini sebagai, “rezim infrastruktur”, yakni sebuah model kepemerintahan yang neoliberal (neoliberal governmentality), dengan melegitimasi sistem ekonomi-politik kapitalisme untuk pembangunan negara.
Dalam pengamatan kami, “rezim infrastruktur” Jokowi-Jk yang hingga detik ini tengah berlangsung di berbagai penjuru daerah tersebut, telah menyesakkan dada banyak orang. Proyek MP3EI era SBY yang hari ini dilanjutkan oleh Jokowi-Jk dalam skema pembangunan jangka menengah Nasional, dengan menyerap investasi modal tanpa batas, menjadi kebijakan yang sangat keji. Kebijakan ini telah menjadi “kitab suci” yang menghalalkan banyak ketimpangan sosial yang belakangan ini justru semakin masif terjadi pada rakyat-rakyat kecil. Dengan dalih peningkatan ekonomi nasional dan pembangunan infrastruktur negara, dengan mata telanjang kita dapat menyaksikan: orkestrasi penggusuran rumah-rumah warga, perampasan tanah, eksploitasi lingkungan, kriminalisasi terhadap sejumlah petani, begitu marak hari ini terjadi.
Jadi apa yang hari ini selalu kita sebut sebagai pembangunan ekonomi nasional sejatinya hanyalah sebuah bungkus, yang isinya tiada lain adalah tragedi dimana kedaulatan rakyat tengah terpinggirkan. Pada konteks inilah, rezim infrastruktur yang sangat neolib ini berhasil meletakkan rakyat-rakyat kecil sebagai ‘tumbal’ di balik tamak dan biadabnya sistem kapital-neoliberal yang dihalalkan oleh kebijakan-kebijakan negara itu sendiri. Hal ini terbukti dalam beberapa kasus ekstraksi yang hingga hari ini tengah terjadi di berbagai penjuru Nusantara, sedikitnya kita bisa menyebut: kasus Kendeng di Jawa Tengah, kasus Tumpang Pitu di Banyuwangi, Proyek NYIA di Kulonprogo Yogyakarta, penggusuran rumah warga Taman Sari di Bandung, adalah beberapa kasus di mana rakyat hanya gigit jari dihadapan arogansinya negara dan pemodal.
Ya, dari sekian kasus-kasus ‘kejahatan’ ekstraksi di atas yang telah disebutkan, kini nama Sumenep, patut juga ditulis ke “papan daftar”. Pasalnya hari ini, selain beroprasinya korporasi-korporasi raksasa di sejumlah titik migas di Sumenep, dalam kisaran empat dan tiga tahun terakhir ini, “perampasan lahan” di kota ujung timur pulau Madura ini justru terjadi semakin masif, terutama di wilayah pesisir.
Informasi terakhir pada tahun 2016, Majalah Fajar memperkirakan 500 ha. lahan telah ludes beralih kepemilikan dari warga ke tangan pemodal. Diakui atau tidak penguasaan tanah oleh investor dalam jumlah besar-besaran ini telah mengakibatkan warga kehilangan alat produksinya. Mereka akan terasing di daerahnya. Tidak lagi menjadi subyek tetapi menjadi obyek dari proses produksi yang sepenuhnya dikendalikan investor. Dengan bahasa sederhana, warga akan menjadi kuli di daerahnya sendiri.
Bersamaan dengan ini, kehadiran pemerintah di Sumenep, yang termanifestasikan dalam bentuk peraturan daerahnya misalkan dalam Perda RTRW Kab. Sumenep tahun 2011-2031 dengan sepihak tanpa melibatkan persetujuan warga menentukan 1723 ha. untuk lahan tambak udang malah semakin melegitimasi “perampasan” lahan-lahan tersebut, atas nama kesejahteraan, stabilitas sosial, ekonomi daerah dan kota wisata. Perda tersebut sebagai kepanjangan tangan dari rezim infrastruktur Jokowi-Jk berlangsung melaui pendisiplinan oleh sejumlah aparatus negara, melalui skema-skema oligarkis, dengan meletakkan Sumenep ke atas etalase pasar investasi global. Tepat dalam kondisi inilah, lahan-lahan di Sumenep ibarat tempe di pasar, yang bisa di beli dan diperebutkan oleh siapa saja yang punya uang banyak. Masa bodoh dengan nasib rakyatnya.
Di sinilah, negara dan seluruh prangkat kepemerintahannya, diam-diam menguatkan primida terbalik dalam peta sosial warga Sumenep, yakni dengan mendudukkan rakyat, tertindih di bawah antagonisme pasar dan negara itu sendiri. Oleh karena itu, dengan memohon ridha dari Allah SWT, kami Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) Sumenep meminta agar Presiden RI, Ir. H. Joko Widodo untuk mendengarkan suara kami yang selama ini selalu dibungkam, yaitu dengan megabulkan beberapa catatan berikut ini:
- Kami menolak rezim infrastruktur yang hari ini diam-diam sedang berlangsung di era pemerintahan Jokowi-Jk ini. Karena bagaimana pun, rezim ini walaupun kedengarannya cukup filantropis, tetapi praktiknya benar-benar menghabisi dan telah melahirkan banyak luka. Diakui atau tidak, rezim yang menjadi “karpet merah” para pemodal tersebut benar-benar telah melumat habis kemanusiaan, keadilan dan kedaulatan rakyat-rakyat kecil. Dengan inilah, penolakan adalah fardhu kita lakukan.
- Kami meminta agar presiden RI, Ir. H. Joko Widodo untuk mengatur ulang regulasi investasi yang berpihak kepada rakyat. Bukan investor. Karena berdasarkan kajian di atas dan beberapa fakta yang hari ini tengah berlangsung di Sumenep, ruang investasi yang dibuka selebar-lebarnya oleh pemerintah malah membuat rakyat-rakyat kecil tercekik, dengan kehilangan alat produksinya.
- Karena seluruh wilayah pesisir di Sumenep notabene sudah beralih kepemilikan ke tangan investor, sementara Pemkab malah diam dan semakin melegitimasi, kami meminta agar presiden ikut intervensi dalam problem ini. Dengan ini, kami berharap agar Presiden RI, Ir. H. Jokowi, memberikan kebijakan yang strategis terhadap fakta perampasan ruang hidup yang sampai hari ini masih tetap berlangsung di Sumenep ini, yakni: menghentikan aksi borong lahan oleh sejumlah investor dan menggagalkan seluruh izin industri yang hari ini dikelola secara borjuistik oleh para pemodal tertentu.
Setidaknya berdasarkan tiga point pernyataan sikap FNKSDA Sumenep terhadap kedatangan Presiden RI, Ir. H. Joko Widodo yang hari ini berkunjung ke Sumenep, kami sampaikan banyak terimakasih.
Wallahul-muwaffiq ila aqwamith-tariq
Moh. Roychan Fajar
Koord. FNKSDA Sumenep