Golput Pemilu 2019, Lawan Militerisme dan Bangun Partai Alternatif
Komite Boikot Pemilu (Borjuasi) 2019 (PEMBEBASAN – SUPER – FNKSDA Komite Ternate – SEKBER – SeBUMI – CGMD – GBU CAKRAWALA dan INDIVIDU PRO-DEMOKRASI)
Salam Demokrasi untuk Rakyat Tertindas…!!!
Pemilu 2019 semakin dekat. Rakyat kembali dihadapkan pada pilihan yang tak ada bedanya dengan tahun-tahun sebelumnya: tak ada yang memiliki program-program yang mampu menjawab tuntutan rakyat atas permasalahan demokrasi dan kesejahteraan. Sama sekali tak ada hal yang baru.
Sejak Pemilu tahun 1999, partisipasi rakyat pemilih terus menurun. Pada tahun 1999, partisipasi rakyat mencapai 92,6%, menurun menjadi 84,1% di Pileg 2004, turun lagi menjadi 78,2% di Pilpres 2004 Putaran I, turun lagi di 76,6% di Pilpres 2004 Putaran II, pada Pilpres 2009 turun lagi di 71,7%, dan mencapai angka 70,9% di Pilpres 2014. Penurunan tersebut, meskipun sebagian merupakan kekacauan administratif penyelenggara memberikan sinyal bahwa semakin banyak rakyat yang memilih untuk tidak berpartisipasi dalam pemilu (golput). Dari tahun ke tahun, ada lebih banyak rakyat yang tak percaya, kecewa, atau bahkan muak terhadap sistem politik di negara ini.
Golput adalah pilihan yang paling masuk akal. Dan itu menjadi sikap kami dalam Pemilu 2019 ini. Kami menyarankan agar rakyat tidak memilih partai dan calon-calon legislatif yang korup, partai yang menipu rakyat, yang satu barisan dengan para pelanggar HAM, yang anti kebebasan berpikir, berkumpul, berkeyakinan dan berpendapat, yang tidak memecah-belah rakyat dengan memainkan sentimen agama, yang tidak rasis, yang tidak dikendalikan militer, dan yang tidak dekat dengan kepentingan kapital.
Apakah ada yang demikian? Jawabnya: tidak.
Pelibatan militer meningkat terutama selama masa pemerintahan Jokowi. Yang terakhir wacana pelibatan militer aktif dalam kementrian negara “sebagai implementasi dari Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi Tentara Nasional Indonesia (TNI).”
Dalam konteks Pilpres 2019, ada borjuasi dengan kekuatan kapital yang besar serta militer dan sisa-sisa Orde Baru yang terlibat dalam tim pemenangan baik di kubu Jokowi maupun Prabowo. Aburizal Bakrie, Moeldoko, Wiranto, Luhut Binsar Pandjaitan, Ryamizard Ryacudu, Chairul Tanjung, Eric Thohir, Hary Tanoesoedibjo, Surya Paloh, Riza Chalid, Djoko Santso, Widjojo Seojono, dan lain-lain dan seterusnya. Belum lagi dukungan dari ormas-ormas reaksioner terhadap para calon. Pelibatan militer dan sisa Orde Baru di kedua kubu cukup menunjukkan bahwa siapa pun yang terpilih nanti tak akan ada yang serius mengadang militer dalam berpolitik. Keterlibatan konglomerat juga menjadi tanda akan keberpihakan kedua kubu pada kepentingan borjuasi, bukan pada kepentingan rakyat pekerja.
Dalam permasalahan HAM, keduanya segendang sepenarian. Diskriminasi dan kriminalisasi kelompok minoritas dan aktivis, penyitaan buku, pembubaran kegiatan terus berjalan sepanjang pemerintahan Jokowi. Juga tak ada kemajuan dalam menangani kasus pelanggaran HAM masa lalu. Permasalahan yang terjadi di Papua juga tak bisa dihiraukan. Puluhan-bahkan ratusan ribu rakyat Papua dibunuh, disiksa, ditangkap, diperkosa, dipenjara tanpa ada proses hukum yang jelas. Deretan hal tersebut memperkuat alasan mengapa kami memilih untuk tidak memilih. Memilih salah satu berarti mendukung masuknya militer dalam kehidupan sipil dan mendukung penindasan sistematis terhadap rakyat pekerja, serta tak akan menghentikan pelanggaran HAM dan tak akan berdampak positif terhadap penyelesaian kasus pelanggaran HAM. “Pesta demokrasi” ala borjuasi ini bukanlah pesta demokrasi untuk rakyat.
Selanjutnya adalah menciptakan panggung tempat rakyat dapat berkumpul, berdiskusi, dan bicara tentang tuntutan mereka sendiri. Persoalan rakyat hanya akan selesai bila rakyat sendiri yang berkumpul bergerak, membangun kekuatan politik alternatif (tanpa melibatkan unsur reaksioner) untuk menciptakan jalan keluar bagi permasalahan rakyat.
Dengan ini, Komite Boikot Pemilu (Borjuasi) 2019 menyatakan sikap dan menyerukan:
1)Golput dalam Pemilu 2019. 2) Lawan militerisme. 3)Bangun kekuatan politik alternatif. 4) Hentikan PT.Pertamina dengan ENI. 5)Stop penggusuran lahan di Maluku Utara. 6)Stop Kriminalisasi Mahasiswa & Rakyat. 7)Adili para pelanggar HAM tahun 1998. 8)Pemerintah harus intervensi urusan pasar sepenuh-penuhnya. 9)Naikan harga Kopra. 10)Tolak pertambangan Asing yang ada di Maluku Utara. 11)Tolak reklamasi pantai. 12)Tolak Peremajang tanaman. 13)Tolak kelapa sawit di Maluku Utara. 14)Hentikan kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak. 15)Berikan demokrasi seluas-luasnya kepada rakyat. 16)Cabut PP 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. 17)Tolak RUU Pelarangan Permusikan. 18)Wujudkan reforma agraria sejati UUPA No.5 Tahun 1960. 19)Nasionalisasi seluruh industri penting untuk kesejahteraan rakyat tertindas. 20)Bangun sistim pertanian & kelautan yang maju serta pro terhadap lingkungan hidup. 21)Cabut seluruh IUP, HGU, IUPHHK-HA & wilayah kerja migas di Indonesia wabil khusus Provinsi Maluku Utara. 22)Tolak keterlibatan Militer dalam ranah sipil.
Hidup Rakyat…!!!
Ternate,17 Februari 2019