Idul Fitri dan Memaknai Kembali Arti Kemenangan
Oleh: Moh. Ishomuddin (Muharrik Gresik)
Idul Fitri adalah momen yang ditunggu-tunggu umat muslim, dimaknai sebagai hari kemenangan setelah sebulan penuh berjuang di bulan Ramadan, menahan nafsu, mengendalikan jiwa, mengekang amarah dan memupuk solidaritas sosial terhadap umat manusia.
Secara harfiah, id berarti kembali, dari akar kata aada yang berarti kebiasaan, turunan dari kata al-Aadah, maka dari itu, perayaannya dilakukan sesuai dengan adat istiadat masing-masing daerah. Sementara fitri berarti makan, dari akar kata afthara-yufthiru yang bermakna berbuka atau tidak lagi berpuasa. Ada juga yang mengatakan fithrah, kembali menjadi suci.
Idul fitri bermakna hari diperbolehkannya makan, atau kembali makan setelah sebulan berpuasa. Ada juga yang menyebut Idul Fithrah, yaitu kembali menjadi suci[1]. Kedua makna tersebut tentu bisa saja dimungkinkan. Yang pertama, menjadi tanda diperbolehkannya kembali makan setelah satu bulan berpuasa. Kedua, menjadi cerminan setelah sebulan penuh melatih jiwa untuk lebih dekat dengan yang kuasa, sehingga berindikasi dari kemurnian jiwa untuk menilai yang haqq dan yang bathil.
Dari kedua pemaknaan, tercermin bahwa kemenangan Idul Fitri seharusnya berarti kemenangan dhohiron wa batinan. Secara batin, manusia menjadi kembali suci dan lebih dekat dengan yang Maha Kuasa, yang berimplikasi pada dhohir manusia, yaitu berupa tindakan memperjuangkan yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar, hal ini merupakan cerminan dari kesucian hati. Maka, jika kemenangan batin tersebut tidak tercermin dari tindakan dhohir, atau tindakan nyata manusia, berarti kemenangan tersebut belumlah tercapai.
Perjuangan seperti apa yang seharusnya menjadi jalan kita mewujudkan kemenangan, mengingat manusia adalah penyandang gelar khalifah fi al-Ardl? Tentu Kemenangan itu bukanlah berarti pesta pora, baju baru dan makanan lezat. Yang sarat akan cerminan hawa nafsu serakah dan kebiadaban setan, sebagaimana koar para Da’i mulia dari mimbar Masjid.
Sebagai penyandang gelar khalifah fi al-Ardl, tentu kemenangan Idul Fitri tidaklah cukup jika diartikan sebagai kemenangan individual, yaitu kemenangan atas hawa nafsu dan menjadikan bertambahnya ketaqwaan kita terhadap Yang Maha Bijaksana. Tapi, kemenangan sosial juga harus direngkuh, sebagai pertanggungjawaban kita yang telah diberi kepercayaan menjadi pemimpin di bumi-Nya.
Jalan untuk merengkuh kemenangan rakyat tidaklah cukup dengan ketaatan kita menjalankan ritual keagamaan saja. Tetapi, kesadaran berpikir kritis juga harus terbangun pada umat Islam, untuk memahami realitas sosial yang sedang menyandera rakyat.
Dalam memahami realitas sosial yang berkembang di abad 21 ini, tentu kita harus menganalisa secara material kehidupan bermasyarakat kita, dengan menganalisa keadaan umat manusia sampai pada akar-akarnya, kita dapat mengetahui apakah kemenangan secara dhohiron wa bathinan ini telah kita rengkuh atau belum. Karena yang harus menjadi landasan perjuangan kita adalah keadaan masyarakat yang sesungguhnya.
Semakin timpangnya jarak antara si kaya dan si miskin, gencarnya perampasan lahan, dominasi pemodal besar yang memonopoli sumber daya alam, mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan, petani yang terjebak dalam garis kemiskinan, buruh dengan upah murah, sistem kerja outsourcing dan rentan PHK, adalah sederet permasalahan sosial yang tak kunjung terselesaikan. Inilah keadaan tak terbantahkan yang ada di kehidupan bermasyarakat kita saat ini.
Bukan hanya itu, maraknya tindakan represif aparat seperti yang terjadi pada pejuang lingkungan hidup Dian Purnomo dan Darno (Waduk Sepat Surabaya) Mashuri, Dwi Sutrisno, dan Sagung (Jenu, Tuban) dan masih banyak yang lainnya, seakan menjadi lonceng tanda bahaya bagi bangsa kita. Bagaimana tidak, kekuasaan yang seharusnya harus berimbas pada kemaslahatan sosial, kini telah terbeli oleh kekuatan modal.
Hagemoni media mainstream yang mencerminkan Idul Fitri sebagai pesta pora yang berlebih-lebihan juga menjadi permasalahan yang selalu luput dari masyarakat kita, kita dipaksa untuk membeli produk-produk imperialisme dengan kedok iklan menggiurkan di televisi.
Tanpa kita sadari, hal tersebut hanya menguntungkan imperialisme yang semakin bertambah profitnya karena pemborosan sia-sia yang dilakukan oleh masyarakat. Kita tidak pernah berpikir, bagaimana nasib para petani miskin dan buruh dengan upah murah, untuk makan saja mereka pas-pasan. Sedangkan kita, lebih memilih membeli barang mewah untuk bisa dipamerkan didepan petani miskin dan buruh dengan upah murah.
Banyaknya permasalahan sosial akut dan tak terselesaikan membuktikan bahwa kemenangan rakyat belumlah tercapai, padahal kaum muslim mempunyai jalan perjuangan menyebarkan yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar. Jika kaum muslim hanya menyibukkan diri dalam selimut ritus agama, kemenangan rakyat yang berarti kemenangan umat akan semakin jauh dari kehidupan bermasyarakat kita.
Mengutip dari Muhammad Al-Fayyadl, “Hari raya adalah tanda solidaritas untuk dunia yang bersaudara, bebas dari penindasan, ketakutan dan ketidakadilan.”
Semangat keberagamaan yang telah terbangun di bulan Ramadhan haruslah menjadi semangat solidaritas sosial kita untuk semakin mengencangkan tali persaudaraan umat manusia dengan perjuangan yang konsisten bersama rakyat.
Tentu, kemenangan rakyat tidaklah akan dapat tercapai jika kita hanya berdiam diri dan enggan berpikir kritis, kita harus senantiasa menggelorakan perlawanan atas ketertindasan yang dialami oleh rakyat, dengan menumbuhkan kesadaran bersama akan pentingnya perjuangan mendaku kehidupan bersama dengan dasar kolektifitas, bukan kehidupan individualisme yang ditanamkan oleh imperialisme
Karena, setelah kita melewati bulan Ramadhan, 11 bulan setelah itu, kita harus membawa spirit Ramadhan, untuk secara konsisten bersama rakyat, melawan mereka yang menindas rakyat secara sistemik, dan bersama dengan kelas buruh, kaum tani, rakyat miskin kota, dan berbagai kekuatan rakyat lain untuk memperjuangkan rakyat, dan mewujudkan dunia baru, dunia yang bebas dari penindasan, ketakutan dan ketidakadilan.
Taqabbalallahu minna wa minkum, shiyamana wa shiyamakum, kullu aamiin wa antum bi khair. Semoga Allah menerima segala ibadah kita dan melapangkan jalan perjuangan kita menuju kemenangan rakyat. Aamiin.
*Artikel disadur dari jaringan Muharrik https://muharrikblog.wordpress.com/2019/06/04/idul-fitri-dan-memaknai-kembali-arti-kemenangan/
[1] Diakses di https://indoprogress.com/2017/06/kemenangan-idul-fitri-antara-yang-hakiki-dan-yang-ilusi/ pada tanggal 04 juni 2019
Sumber Gambar : http://poskotanews.com/2018/06/08/kisah-orang-orang-miskin/