Menarinya, perlawanannya Hj. Mukhlisah
Herlambang P. Wiratraman
(Dosen FH Unair/Hrls Unair/FNKSDA)
Lagu lama Sting yang berjudul ‘They Dance Alone’ (6:55), melintas saat berfokus dengan paper subuh tadi. Lagu itu, dulu, mengingatkan pada seorang ibu, Hj. Mukhlisah namanya (Buduran Sidoarjo), yang semasa hidupnya mengabdikan diri mengajarkan keberanian dan tidak diam atas ketidakadilan.
Paper off dulu. Sejenak berganti dengan cari dokumen dan meniatkan sedikit menuliskannya, sebelum lupa dan hilang sejarah itu. Berikut sedikit kisahnya.
Almarhumah Ibu Hj. Mukhlisah, seorang ibu seperti pada umumnya, dulu merupakan salah satu pendiri Paguyuban Petani Jawa Timur (Papanjati), di tahun 1999. Beliau, satu diantara 7 orang yang pernah diculik oleh militer di tahun 1965, bersama suaminya. Sebagai Ketua Fatayat NU Buduran, ia memang sering mengadakan pengajian di kampung, termasuk di Musholla miliknya yang sering digunakan pertemuan dengan warga yang berjuang pengembalian hak tanah yang diambil paksa oleh TNI AD atas nama ‘ganti tanaman.’
Namun, malang. Karena aktivitasnya itu, 7 orang yang menjadi pengurus NU itu diculik, dan tak pernah kembali hingga saat ini. Kecuali beliau dan satu orang lagi, dipulangkan karena kondisi hamil 8 bulan. Selama masa kehamilan, ia bertutur sering dipaksa untuk bekerja di kantor Koramil, ambil air di sumur, mengepel, dan seterusnya.
Ia mengaku tak pernah tahu apa yang terjadi di Jakarta, sehingga membuatnya harus ditahan dan suaminya dibunuh. Ia pun berulang kali menegaskan bukan orang partai, apalagi PKI. Di saat penculikan berlangsung, yang ia ingat orang-orang termasuk dirinya dinaikkan truk dan melihat musholanya ditulis besar, “Mushola milik PKI” (mushola masih berdiri, di Sukorejo Buduran, RT4/RW1).
Sampai satu waktu berjumpa pada tahun 1999 di kantor LBH Surabaya. Dan beliau selain pendiri, juga didapuk sebagai Ketua Pemberdayaan Perempuan di Papanjati. Beliau sangat aktif ke lapangan, terutama bersafari ke berbagai penjuru organisasi tani di Jawa Timur. Saya kira kawan-kawan seperti Mas Yatno Subandio di Wongsorejo Banyuwangi, Pak Purwo Eko, Snewi, di Pasuruan, Mas Jumain Sekti Jember atau mas Nardi/Pak Tekad di Blitar, tidak akan pernah lupa ini.
Perjuangan hak tanahnya bersama warga dengan didampingi Haji Thohir, adik yang aktif pula sebagai pengurus Banser Sidoarjo, mendapat simpati dari salah seorang staf BPN, dengan diberikan info lengkap dokumen-dokumen tanah yang dikuasai TNI AD itu. Namun tak berselang lama, dikabarkan dokumen asli itu hilang. Orang BPN yang membantu warga justru dimutasi.
Bertahun-tahun berjuang melalui hukum birokrasi, sama sekali tak ada hasil. Komnas HAM sudah berulang kali hadir, juga tak bisa membantu perubahan di lapangan. Suatu hari beliau datang ke rumah, ditemani sejumlah warga (tak lagi ingat dengan siapa saja), menyatakan kehendaknya untuk menduduki lahan yang dirampas, tanah sawah yang saat itu disewa-sewakan TNI AD.
Entah apa cerita lengkapnya saat itu, kami semua menitikkan air mata. Karena beliau berujar, “nek ora onok sing wani, aku dewe mlebu sawah ngencepke gendero!” (kalau warga tak berani, saya sendiri yang akan menancapkan bendera merah putih di sawah). Niat itu tak main-main, dan bahkan diberitahukan ke pihak TNI. “aku siap mati, Pak Er!”
Saat hari itu tiba, nasehat hukum apapun, tak menghentikan langkahnya. Begitu juga warga, sehingga ratusan warga mengikuti beliau dari belakang. Saya datang dan mengambil foto di atas, dengan mengajak kawan mas Indiarto Priadi (jurnalis SCTV, saat itu yang ambil video).
Di areal sawah, TNI AD sudah menyambut dengan pasukan lengkap bersenjata. Tanpa ragu Bu Hj. Mukhlisah melangkah terdepan, dan memberi pendidikan ke warga soal tanah yang dirampas. Kepada aparat TNI, ia berujar, “le, kuwi bedhil nek nggo nembak ibumu iki, ora opo-opo. aku wis tuwek, mung iso ngajari jujur karo bangsamu dewe.” (anakku, itu senjata kalau hendak dibuat nembak ibumu ini (dirinya), tidak apa-apa, karena saya sudah tua, saya hanya bisa mengajarkan kejujuran terhadap warga bangsamu sendiri).
Tentu tak mudah bagi warga untuk masuk lokasi, karena sudah dipasang kawat berdiri, dan bahkan diberi aliran listrik yang siap mematikan siapa saja (lihat foto).
Sungguh, warga kehilangan sosok ibu pemberani. Beliau di tahun 2004-2005, sempat beberapa kali saya minta hadir di kelas di perkuliahan hukum HAM, mengajarkan apa itu makna HAM dan bagaimana mahasiswa tak hanya belajar, tetapi juga mengamalkannya. Mahasiswa hukum sangat antusias bertanya, tak sedikit menangis, namun menjadi akrab setelah perkuliahan.
Pagi ini, begitu rindu sekali dengan sosok almarhumah Ibu Hj. Mukhlisah, dari jauh hanya bisa mendoakan terbaik dan berupaya untuk tetap menguatkan diri menemani kawan-kawan petani. Insya Allah…
Do’a terbaik pula untuk ibu-ibu hebat yang terus berjuang, hingga harus pula kehilangan suami, anak, orang tua, saudara. Karena kejamnya penguasa otoriter Orde Baru dan penjahat kemanusiaan.
*Tulisan ini disadur dari status Facebook: Herlambang P. Wiratraman. Dan telah diedit beberapa kata.