Menyelamatkan Surabaya Barat dari Bencana Banjir “Selamatkan Waduk Sepat”
Pada awal tahun ini, antara bulan Januari hingga Februari, intensitas hujan meningkat. Tak terkecuali di Kota Surabaya. Hujan deras yang mengguyur tiap harinya tersebut, merendam Kota Surabaya khususnya wilayah Surabaya Barat. Wilayah yang terendam berada di Lidah Wetan, Lontar, Menganti, Lakarsantri, Driyorejo, hingga perumahan mewah Citraland. Saat banjir datang, ketinggian bisa mencapai kap mobil atau kurang lebih satu setengah meter. Bahkan pada bulan Januari,satu orang anak meninggal dunia akibat terseret banjir.
Untaian fakta tersebut memperlihatkan bahwa masalah banjir merupakan hal penting yang harus segera diatasi. Apalagi jika melihat padatnya aktivitas warga di Surabaya Barat, karena di wilayah tersebut terdapat pemukiman warga serta perkantoran, dan ditambah adanya aktivitas pendidikan di kampus UNESA Lidah Wetan. Oleh sebab itulah, pemerintah kota seharusnya fokus pada penanganan banjir serta mengurangi pembangunan yang mengarah kepada penyempitan tempat untuk penampungan air.
Tapi kenyataannya, justru Pemkot Surabaya menutup mata ketika waduk terbesar di Surabaya yaitu Waduk Sepat hendak dijadikan perumahan oleh PT. Ciputra Surya. Waduk Sepat menjadi milik PT. Ciputra Surya atas persetujuan Pemerintah Kota Surabaya melalui Surat Keputusan Walikota Surabaya No. 188.45/366/436.1.2/2008, atas persetujuan DPRD Kota Surabaya dengan Surat Keputusan No. 39 Tahun 2008. Dijadikannya waduk ini sebagai perumahan merupakan kontradiksi yang terjadi pada tahun 2003, karena waduk dengan luas sekitar 66.750 m² itu pernah digunakan oleh PT. Ciputra Surya sebagai tempat penampungan air dan saluran pembuangan dari perumahan Citraland. Hingga sekarang, meskipun ada bagian yang sudah dikeruk, Waduk Sepat masih menjadi saluran pembuangan dari perumahan elit tersebut.
Setujunya Pemkot Surabaya dalam proses pengalihfungsian waduk menjadi perumahan sebenarnya melanggar perencanaan tata ruang dan wilayahnya sendiri. Ketika menelisik Rencana Tata Ruang Tata Wilayah (RTRW) Kota Surabaya 2014-2034 disebutkan tentang konservasi wilayah, bagian ketentuan umum yang tercantum dalam pasal 1 poin ke 47 tercantum: jika kawasan sempadan waduk atau bosem merupakan salah satu wilayah yang dilindungi, karena berfungsi sebagai wilayah perlindungan tangkapan air atau wilayah yang melindungi waduk (bosem).Sementara dalam pasal 14 sebagaimana telah disebutkan dalam pasal 13 a, menyebutkan jika waduk merupakan kawasan yang dilindungi karena fungsi resapannya.
Selain pada konteks waduk, ruang terbuka hijau harus dijaga serta mengendalikan pembangunan agar tidak merusak fungsi kawasan resapan air. Jika ditelusuri lebih lanjut pada pasal 19 poin kelima, disebutkan bahwa jika pusat lingkungan yang merupakan wilayah yang dicanangkan sebagai kawasan lindung, tercatat jika Lakarsantri masuk Unit Pengembangan Wilayah X Wiyung.
Kemudian hal-hal tersebut dipertegas dalam pasal 41 poin pertama yang menyebutkan: jika wilayah waduk atau bosem merupakan unit yang dilindungi, tersebar di wilayah Unit Pengembangan I Rungkut, Unit Pengembangan V Tanjung Perak, Unit Pengembangan X Wiyung dan Unit Pengembangan XII Sambikerep. Selanjutnya Unit Pengembangan X Wiyung ini meliputi kawasan Karang Pilang dan Lakarsantri.
Penetapan wilayah tersebut menurut Walhi Jatim bukan tanpa sebab, dikarenakan wilayah di Lakarsantri, Wiyung, dan Karang Pilang memang banyak tersebar ruang terbuka hijau, kawasan sungai, dan waduk. Wilayah tersebut menjadi penyangga untuk wilayah di bawahnya, sebagai salah satu penyeimbang lingkungan hidup yang fungsinya sangat penting, yakni sebagai kawasan pengendali bencana khususnya banjir. Tentu hal tersebut sangat kontradiktif dengan perampasan ruang hidup yang kerap dilakukan oleh Pemkot Surabaya, melalui alih fungsi kawasan masif, sebagaimana yang terjadi di Waduk Sepat yang berada di wilayah Lakarsantri.
Tak hanya dalam RT/RW saja waduk dilindungi, dalam UU Konservasi Nomor 5 Tahun 1990, menyebutkan jika suatu kawasan memiliki nilai penting, sebagai kawasan penyangga atau kawasan yang memiliki fungsi vital seperti untuk resapan air dan penampung air, seperti waduk merupakan wilayah yang harus dilestarikan dan dilindungi. Maka untuk itu, membaca akan potensi Surabaya Barat akan tenggelam, warga Dukuh Sepat, Lidah Kulon, melakukan upaya litigasi dengan mengajukan gugatan Citizen Law Suit (CLS) kepada Walikota Surabaya dan Ketua DPRD Kota Surabaya di Pengadilan Negeri Kota Surabaya. Gugatan CLS sendiri merupakan gugatan warga negara, masuk ke dalam ranah hukum acara perdata.
Tentu, tuntutan warga di dalam gugatan ini bukanlah gantu rugi materiil, tetapi memastikan bahwa SK Walikota Surabaya Nomor 188.451.366/436.1.2/2008 tentang “Pemindahtanganan Dengan Cara Tukar Menukar Terhadap Aset Pemerintah Kota Surabaya Berupa Tana Eks. Ganjaran/ Bondo Desa di Kelurahan Beringin, Kecamatan Lakarsantri, Kelurahan Jeruk, Kelurahan Babat Jerawat, Kecamatan Pakal, Kota Surabaya. Dengan Tanah Milik PT. Ciputra Surya” batal, demi hukum dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Pengajuan gugatan CLS bukan pertama kalinya disidangkan, karena pengajuannya sendiri pertama kali dilakukan pada tanggal 11 Mei 2016. Terakhir pada tanggal 19 Maret 2019 disidangkan, tetapi ditunda karena pihak tergugat yaitu Pemkot Surabaya tidak hadir. Karena itu sidang akan dilangsungkan kembali pada hari Selasa, 26 Maret 2019 di Pengadilan Negeri Surabaya.
Untuk itu ratusan Warga Dukuh Sepat, Lidah Kulon bersama jaringan Selamatkan Waduk Sepat (Selawase) akan mengawal sidang ini, karena sangat penting agar Surabaya terhindar dari bencana banjir, sekaligus menyelamatkan Waduk Sepat yang merupakan area konservasi.