Browse By

Peringatan Hari Nelayan 2019 : “Menolak Terusir Dari Pesisir”

Semarang, 6 April 2019

Pada peringatan Hari Nelayan Nasional tahun 2019, kami Aliansi Masyarakat Sipil Jawa Tengah untuk keadilan Pesisir bersama Nelayan dan masyarakat pesisir di Jawa Tengah menyerukan bahwa kami “Menolak Terusir dari Pesisir.” Hal tersebut berkaitan dengan kedaulatan yang hingga tahun 2019 ini masih mengalami upaya pengilangan identitas hakikat nelayan dan masyarakat pesisir seperti “tidak bisa dipisahkan dengan laut dan dinamis seperti arus laut sehingga tak bisa begitu saja dilakukan fragmentasi.” Selain itu, hak-hak dasar nelayan dan masyarakat pesisir masih mengalami perampasan ataupun pengurangan atas penikmatan suatu hak asasi manusia.

Dalam rangkaian peringatan hari nelayan tahun ini, pada Jum’at (5/4) telah dilakukan kegiatan diskusi publik bedah Perda Jawa Tengah Nomor 13 Tahun 2018 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K) Jawa Tengah Tahun 2018-2038 di Fakultas Teknik Unissula Semarang dengan menghadirkan perwakilan Nelayan, masyarakat pesisir, akademisi, organisasi sipil, mahasiswa, Dinas Kelautan dan Perikanan serta Biro Hukum Setda Provinsi Jawa Tengah.

Kemudian pada malam harinya dilanjutkan diskusi dan pemutaran Film Dokumenter “Sexy Killers” di Nir Cafe Gunungpati Semarang yang menceritakan industri batubara dan dampaknya dari hulu (pertambangan) hingga hilir (bahan bakar PLTU) yang membawa dampak rusaknya ekosistem pesisir dan laut di sekitar PLTU berdiri.

Hari ini (6/4) kami melaksanakan upacara simbolik memperingati hari nelayan di Kampung Tambakrejo, kelurahan Tanjung Mas Kota Semarang, dan diikuti peringatan hari nelayan diberbagai daerah seperti di Jepara, Demak, Batang dll. Terakhir, besok (7/4) akan ada acara “Pasar Tiban” makanan olahan hasil tangkapan Nelayan sebagai pembuktian bahwa masyarakat nelayan dan pesisir berdaya, berdaulat dan terus berjuang .

Salah satu refleksi utama hari nelayan tahun 2019 adalah masyarakat pesisir dan nelayan Jawa Tengah terus diupayakan untuk dijauhkan dan terusir dari pesisir. Selain itu, nelayan dan masyarakat pesisir nelayan dihadapkan dengan makin parahnya degradasi lingkungan berupa abrasi, banjir rob yang melanda pesisir dan laut Jawa Tengah. Hal tersebut mengurangi bahkan merampas penikmatan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Pembangunan proyek infrastruktur, kawasan industri, pertambangan pasir besi, PLTU Batubara, Reklamasi, privatisasi, dan penguasaan militer atas wilayah pesisir menjadi ancaman lain bagi kedaulatan masyarakat nelayan dan pesisir.

Tidak berhenti disana, melalui Perda RZWP-3-K Jawa Tengah dan Revisi Raperda RTRW Jawa Tengah, Pemprov Jateng telah menyiapkan alokasi ruang dan berbagai skema proyek yang berpotensi akan berdampak buruk bagi nelayan dan masyarakat pesisir. Proyek seperti pembangunan PLTU Batubara yang alokasi ruangnya di Pemalang, Batang, Jepara, Cilacap dan Rembang, tol laut dan tanggul laut di Kota Semarang dengan reklamasi, kawasan industri, peruntukan kawasan militer di pesisir seperti yang dialokasikan di Urutsewu, Kebumen.

Padahal, kondisi yang sesungguhnya terjadi di pesisir Jawa Tengah menunjukkan bahwa dampak PLTU Batubara seperti di Jepara, Cilacap, dan Rembang, dampak dari Kawasan Industri, dampak aktivitas manusia lainnya di perkotaan, telah menghasilkan limbah dan emisi udara yang mencemari sungai, pesisir dan laut kita. Belum lagi pembangunan yang menyebabkan penurunan muka tanah dan reklamasi pantai yang merubah arus dan permukaan laut, telah memperparah fenomena Banjir Rob di berbagai daerah pesisir seperti Kota Semarang, Demak dan Pekalongan. Akan tetapi, dalam Perda RZWP-3-K yang baru terbit, tidak secara nyata merumuskan skema mitigasi bencana dan tidak memiliki perspektif penanggulangan perubahan iklim.

Sementara itu, dari diskusi publik yang dilakukan di Unissula (5/4), Nico Wauran dari Layar Nusantara mengkritisi berbagai rencana proyek di Pesisir Jateng serta soal sanksi administratif bagi pemberi izin yang dirasa ambigu.

“Bagaimana mungkin, pemberi izin adalah gubernur, sementara sanksi terhadap pemberi izin akan diatur lebih lanjut melalui peraturan gubernur? Gubernur memberi sanksi untuk dirinya sendiri itu aneh dan ambigu.” Terang Nico Wauran.

Akademisi Unika Soegijapranata, Hotmauli Sidabalok, S.H., C.N., M.Hum, mempertanyakan skema perizinan terhadap nelayan tradisional atau nelayan lokal, yang berpotensi menyulitkan nelayan-nelayan kecil tersebut. Selain itu, dirinya juga mempertanyakan aturan sanksi yang ambigu ditambahkan dengan sanksi pidana yang terbuka mengkriminalkan peran serta masyarakat.

Sementara itu, Dr. Mila Karmila, ST., MT, akademisi Unissula, turut mempertanyakan mitigasi bencana yang tidak konkrit dalam Perda yang disahkan Gubernur pada Desember 2018 tersebut. Dari Dinas Kelautan Perikanan Jateng dan Biro Hukum Setda Prov. Jateng menyampaikan bahwa memang tidak ada aturan yang sempurna, terlebih aturan RZWP-3-K ini ialah aturan pertama yang mengatur tata ruang di pesisir dan laut.

Problem yang ada tersebut diamini oleh Nelayan Tradisional, seperti yang disampaikan oleh Sugeng dari Forum Mina Kendal.

“Kami sangat kesulitan mengurus izin kapal 5 GT kami hingga ke Provinsi, belum lagi nanti dilempar sana, dilempar sini. Terus, dampak pembangunan dan reklamasi itu nyata sekali, contohnya di wilayah pelabuhan, merubah ombak, menenggelamkan desa, membuat abrasi, membuat banjir.” Ungkap Sugeng

Hal tersebut juga dirasakan Nelayan Batang, seperti yang disampaikan Usman yang merupakan nelayan Roban, dia menyampaikan, jika pembangunan itu merusak, seperti pembangunan PLTU Batang yang memberikan dampak kerusakan laut, dan pembangunan itu tiba-tiba saja ada, kita nelayan tidak tahu menahu. Sedangkan Salim, Nelayan dari Morodemak juga menyoroti mengenai lingkungan yaitu tentang alat tangkap, yaitu:

“Tolonglah, komitmen untuk menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan itu diperjelas, karena dampaknya sangat mengerikan untuk masa depan anak cucu kami.” Jelas Salim

Marzuki, nelayan dari tambakrejo Semarang juga menyampaikan, ada sebuah upaya mengkotak-kotakkan laut, padahal seharusnya tidak bisa. Misal dilihat di peta, Semarang sepertinya tidak ada alokasi untuk nelayan, semua sudah untuk pelabuhan.

Nico Wauran menambahkan, bahwasanya UU Perlindungan dan pemberdayaan nelayan sejak 2016 hingga saat ini belum dirasakan kehadirannya, pengakuan nelayan perempuan dalam mengolah sumber daya perikanan juga belum konkrit.

Refleksi dan arah pengaturan wilayah pesisir dan laut kedepan ternyata tidak memperlihatkan usaha perlindungan dan justru berusaha mengurangi hak masyarakat nelayan kecil dan masyarakat pesisir. Perencanaan wilayah pesisir dan laut Jawa Tengah justru didominasi dengan alokasi ruang untuk pembangunan yang berpotensi memberi dampak buruk, menjauhkan bahkan mengusir nelayan dan masyarakat pesisir dari pesisir dan laut mereka. Kembalikan kedaulatan kami.

Selamat Hari Nelayan 2019.

Aliansi Masyarakat Sipil Jawa Tengah Untuk Keadilan Pesisir:

  • LBH Semarang
  • Walhi Jawa Tengah
  • Pattiro Semarang
  • LRC-KJHAM
  • Hysteria
  • FNKSDA Semarang
  • Gusdurian Semarang, Layar
  • Nusantara,
  • Guyub Tbrs

Narahubung :
Nico Wauran : 085799120425
Umi : 085225977379

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *