Browse By

Sepenggal Sejarah Tambang Emas Blok Silo

Fathor Rahman Jm*

Aksi unjuk rasa warga Silo di depan Gedung DPRD dan Kantor Bupati Jember pada Senin, 10 Desember 2018, merupakan salah satu rentetan perjuangan panjang masyarakat Silo. Mereka bersama ulama dan aktivis lingkungan sudah lama berjibaku untuk mempertahanankan ruang kehidupan mereka yang hendak dirampas. Jika melihat sejarah, isu dan konflik tambang emas di Blok Silo, ini merupakan isu lama dan bereskalasi internasional. Rupanya perjuangan warga Silo tersebut masih sangat panjang dan akan menghadapi banyak kekuatan yang mengancam.

Sehari setelah unjuk rasa itu, masyarakat Silo dikecewakan oleh pernyataan Kepala Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Jawa Timur Setiajit. Dia menduga aksi tersebut dikoordinir oleh mafia penambang emas ilegal di Blok Silo (Petisi.co, 11 Desember 2018). Pernyataan ini mengundang reaksi keras dari warga Silo, karena hal itu dinilai serampangan, tidak benar dan fitnah, apalagi dikaitkan dengan sejarah panjang perjuangan masyarakat Silo berkenaan dengan penolakan pertambangan emas tersebut.

Sejarah Perlawanan Masyarakat Silo

Latar belakang sejarah pertambangan emas di desa Pace ini dimulai sejak pendudukan pemerintah Inggris di daerah desa Pace, salah satu desa di kecamatan Silo. Salah satu wilayah yang paling terkenal di Pace adalah Curahmas. Curahmas adalah sebuah nama yang disematkan pada daerah hutan yang mana banyak terdapat sungai kecil (cora, Madura). Seorang tokoh NU (Nahdlatul Ulama) di desa Pace Muhammad Siradj, menyatakan nama Curahmas ini diberikan oleh para tokoh sepuh dan ulama setempat, lantaran sungai kecil di daerah itu selalu mengalir semacam cairan, zat-zat, dan batu emas. Nama ini diberikan sejak PT Perkebunan Jawatie Curahmas belum dibuka.

Menurut Siradj, baru pada sekitar tahun 1925 Perkebunan Curahmas ini dibuka oleh Inggris, dengan komoditas utama kopi dan karet. Karena daerah itu sudah bernama Curahmas, maka perkebunan yang dibuka oleh Inggris tersebut diberi nama Perkebunan Curahmas. Oleh karenanya, sejak saat itu juga sebenarnya Inggris pun sudah mengetahui, bahwa daerah Curahmas ini mengandung bahan mineral emas. Hanya saja Inggris pada saat itu belum sempat mengeksploitasinya.

Banyak sumber menyebutkan, Inggris menguasai Perkebunan Curahmas berlangsung hingga tahun 1960-an. Baru pada sekitar tahun 1962 hingga 1966, pemerintah Indonesia berupaya melakukan proses nasionalisasi aset bangsa. Upaya nasionalisasi saat itu antara lain didorong oleh kepentingan negara Indonesia untuk memperkuat aspek ekonomi dan pertahanannya lantaran terjadi pertentangan antara Indonesia dan Malaysia, yang mana Pemerintah Indonesia pada saat itu menentang keinginan Federasi Malaysia atau Persekutuan Tanah Melayu pada tahun 1961, untuk menggabungkan Brunei, Sabah, dan Sarawak yang tidak sesuai dengan Persetujuan Manila.

Presiden Soekarno pada masa itu sangat menentang upaya itu karena Malaysia dianggap sebagai boneka Inggris, sebagai bentuk kolonialisme dan imperialisme gaya baru yang akan memberikan kekuatan pada pemberontak dalam Negara Indonesia, sehingga dapat meningkatkan gangguan keamanan dalam negeri. Dari itu, Soekarno mengeluarkan Dwi Komando Rakyat (Dwikora) dalam rangka menjamin keamanan dalam negeri.

Di sisi lain, untuk memperkuat negara, pemerintah melakukan upaya nasionalisasi aset bangsa, termasuk Perkebunan Curahmas ini. Pada saat itu, terdapat pernyataan dari pemerintah Indonesia bahwa lima puluh tahun lagi akan diadakan eksplorasi dan eksploitasi tambang di area Perkebunan Curahmas dan sekitarnya. Ternyata benar, sekitar lima puluh tahun dari tahun 1960, yakni pada tahun 2010, isu eksplorasi dan eksploitasi tambang ini mencuat kembali dan mendapatkan perlawanan hebat dari warga, hingga terjadi konflik horizontal yang nyaris memakan korban jiwa.

Wilayah lain yang berada di sekitar Curahmas yang menjadi incaran pemerintah dan investor untuk dilakukan eksplorasi tambang emas adalah daerah Dusun Baban (sejak 1990 mengalami pemekaran kemudian menjadi Desa Mulyorejo) yang termasuk wilayah Desa Pace. Wilayah Curahmas dan Dusun Baban ini diyakini adalah wilayah bagian dari Taman Nasional Merubetiri yang paling banyak mengandung mineral, khususnya komoditas emas. Tidak heran, ketika pada masa awal pemerintahan Orde Baru, daerah Dusun Baban ini akan dibebaskan oleh pemerintah. Dibebaskan dalam arti lahan itu akan disterilkan dari penduduk dan aktivitas pertaniannya, yang saat itu sudah banyak sekali penduduk yang menetap di sana.

Selain menjadi lahan yang selalu diintip-intip (objek observasi) oleh pemerintah, sebagian daerah hutan Baban hingga saat ini menjadi lahan sengketa antara warga setempat dengan pihak Perhutani. Sebagian besar dari lahan ini diklaim menjadi HGO Perum Perhutani. Namun demikian, pada tanggal 29 September 2014 fakta baru terbuka. Yakni, surat pengumuman dan keterangan dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang menyatakan bahwa sejak tahun 1906, lahan di Mulyorejo ini sebenarnya telah dibuka sebagai lahan perkebunan oleh Pemerintahan Belanda. Perusahaan Milik Pemerintah Belanda yang mengerjakan lahan pada saat itu bernama Government Nederland Hindi.

Fakta dari surat keterangan ini juga didukung oleh penemuan-penemuan artefak-artefak kuno di lapangan, yaitu dengan ditemukannya bekas-bekas reruntuhan gedung-gedung perumahan tua konglomerat Belanda, peralatan-peralatan rumah tangga, seperti guci, keramik, dan dalam peralatan makan yang berupa piring dan sendok tersebut, terdapat sebuah tulisan yang secara tidak langsung menunjukkan, bahwa benda yang ditemukan itu berasal dari peradaban Belanda. Bukti yang baru-baru ini ditemukan oleh masyarakat Baban adalah sendok dari bahan stainless stell, dengan tulisan “Nederland Government” yang mana sendok itu dibuat di Eropa pada tahun 1896.

Penggarapan lahan yang dilakukan oleh Pemerintah Belanda ini diyakini berlangsung hingga tahun 1942, yaitu dengan datangnya Jepang ke tanah air. Daerah itu kemudian ditinggalkan oleh Belanda, dan para pekerja pribumi di Baban kemudian menggarap hutan secara mandiri pada awalnya. Dengan demikian, sejak menjelang kemerdekaan yakni pada sekitar tahun 1942. Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia daerah Baban ini sebenarnya sudah ditempati oleh para penduduk yang membabat hutan (menempati wilayah).

Seiring berjalannya waktu, ketika Jepang semakin terdesak dalam perang menghadapi pasukan Sekutu, Jepang memerlukan banyak dana untuk membiayai perang. Untuk itu, Jepang memberlakukan program pertanian secara massal. Pekerja pertanian itu diambil dari masyarakat pribumi yang berada di desa-desa. Para pekerja itu kemudian disebut dengan romusha. Sejak Oktober 1943, Jepang mewajibkan para petani menjadi romusha.

Petani diwajibkan untuk menanam komoditas yang bisa diekspor ke Eropa. Para petani pembabat hutan di daerah Baban, juga tidak luput dari program tanam paksa pemerintah Jepang pada saat itu. Mereka diwajibkan untuk menanam pohon kapas, hasil produksi tersebut akan diekspor ke Eropa untuk menyuplai pabrik-pabrik tekstil di sana. Dalam menjalankan program tanam paksa ini, pemerintah mengeluarkan surat kuasa kepada petani Baban untuk menggarap tanah.

Perjuangan Berat dan Panjang

Pada masa awal pemerintahan Orde Baru sekitar tahun 1976, tanah Baban hendak diambil alih oleh pemerintah Orde Baru. Para penduduk di sana diminta untuk tidak menempati tanah itu. Alasannya adalah bahwa tanah itu milik negara dan penduduk di sana tidak memiliki hak untuk menempati tanah tersebut, karena tidak memiliki akte milik atau sertifikat. Selain itu, alasan yang dimajukan oleh Pemerintah Orde baru pada saat itu adalah bahwa tanah Baban ini dikhawatirkan akan menjadi tempat persembunyian orang-orang PKI, yang beberapa tahun sebelumnya lari dari sisiran TNI, sebagaimana yang terjadi di Blitar.

Namun menurut banyak tokoh dan sesepuh, itu hanya alasan yang dibuat-buat pemerintah Orde Baru. Motivasi yang sebenarnya adalah tanah Baban itu akan dieksplorasi dan dieksploitasi emasnya oleh pemerintah, tanpa mau repot berurusan dengan penduduk setempat. Di samping itu, motivasi terakhir ini masuk akal lantaran kedekatan Soeharto dengan para investor asing, seperti Amerika Serikat.

Namun demikian, upaya penarikan lahan Baban oleh pemerintah dapat digagalkan oleh para tokoh setempat. Para tokoh itu pada umumnya adalah para tokoh NU yang mengorganisir massa dalam suatu wadah, yang disebut dengan Pertanu (Persatuan Tani NU) Jember. Perlawanan masyarakat di bawah panji Pertanu ini beradarah-darah, tidak sedikit dari para tokoh dan petani yang dipenjarakan karena dianggap makar dan menghasut petani untuk melawan pemerintahan yang sah.

Di tengah pertentangan dan konflik vertikal masyarakat tani dengan pemerintah, di mana para tokoh NU seperti Kiai Surip Mahmud (keponakan Kiai Ahmad Siddiq) dan kawan-kawan Pertanu sudah tidak mampu membendung keinginan pemerintah pusat untuk membebaskan lahan tanah Baban, ada dua orang tokoh NU di Pace yang berinisiatif berkunjung untuk sowan ke KH. As’ad Syamsul Arifin di Banyuputih, Sukorejo, Situbondo (Pengurus PBNU saat itu). Selain sowan dan silaturrahim, dua tokoh ini juga memohon bantuan serta petunjuk Kiai As’ad mengenai perjuangan petani Baban. Sesampainya di kediaman Kiai As’ad, dua orang tokoh Pace ini menyampaikan persoalan yang tengah dihadapi oleh masyarakat Pace, khususnya Baban.

Mengingat secara politik tidak sehaluan dengan Bupati Jember, pada saat itu adalah Abdul Hadi. Kiai As’ad langsung menyampaikan alasannya mengapa dia tidak setuju Abdul Hadi menjadi Bupati Jember. Menurut Kiai As’ad, pada saat itu Abdul Hadi ini adalah alat pemerintah pusat untuk mengambil lahan-lahan potensial di Jember. Kiai As’ad lebih setuju pada KH Ali Yasin yang juga pengurus PCNU Jember, untuk dijadikan Bupati Jember. Karena kuatnya tekanan ABRI pada saat itu, maka pada akhirnya Abdul Hadi tetap menjadi Bupati Jember, yang kemudian menjadi kaki tangan pemerintah pusat untuk membebaskan lahan di Baban.

Dalam perbincangan dengan dua tokoh tersebut, Kiai As’ad menyampaikan bahwa sangat banyak santri dan sahabat-sahabat Kiai As’ad yang tinggal di Baban. Jadi, sama sekali tidak benar kalau Baban dikhawatirkan akan menjadi persembunyian PKI. Secara politik, masyarakat Baban pada saat itu, selain berasosiasi dengan NU juga banyak yang beasosiasi dengan PNI bukan PKI.

Menurut Kiai As’ad, yang memerintahkan untuk membabat hutan Baban adalah pemerintah Jepang, dan menurut hukum Islam, masyarakat Baban sah menempati dan menggarap lahan tersebut. Untuk itu, Kiai As’ad memerintahkan untuk mengumpulkan bukti surat perintah dari pemerintah Jepang, terutama kepada masyarakat Baban untuk membabat (menempati lahan) hutan di sana. Surat perintah dari Jepang itu merupakan bukti autentik, bahwa masyarakat Baban secara sah dapat menggarap dan menempati lahan tersbut. Dan jika diperkarakan di pengadilan, menurut Kiai As’ad masyarakat Baban pasti akan menang.

Ungkapan tersebut benar adanya, setelah dicari ternyata ditemukan lima lembar surat perintah atau semacam sertifikat dari pemerintah Jepang untuk masyarakat Baban. Surat itulah yang kemudian dijadikan semacam bukti autentik. Tidak hanya sampai di situ, Kiai As’ad juga berkoordinasi dengan para tokoh NU yang ada di pemerintahan pusat, pada saat itu yang dihubungi Kiai As’ad adalah KH. Idham Cholid, tokoh PBNU yang memiliki pengaruh besar di percaturan politik nasional.

Dengan pengaruh dan kedekatan Kiai As’ad dengan presiden Soeharto pada saat itu, upaya penyelamatan lahan Baban ini membuahkan hasil. Terbukti, sekitar enam bulan dari upaya itu, turunlah SK dari Mendagri yang menyatakan bahwa tanah Baban adalah milik rakyat. Namun demikian, SK tersebut tidak langsung turun ke masyarakat Baban, melainkan masih ditahan oleh pemerintah Kabupaten Jember selama setahun. Dari situ kemudian proses yudifikasi tanah Baban dilaksanakan sejak tahun 1983, hingga saat ini hampir seratus persen tanah Baban memiliki sertifikat hak milik masyarakat setempat.

Sejak tahun 90-an banyak orang luar Silo yang berusaha menguasai lahan di daerah tersebut, caranya yaitu membeli dengan harga yang menggiurkan (tinggi) masyarakat setempat. Bagi warga yang tidak mengetahui sejarahnya, dengan mudah mereka menjual lahan tersebut. Belakangan banyak dikabarkan, jika orang-orang spekulan tanah dari luar Silo, menggunakan orang Silo dan Baban untuk bisa membeli tanah di daerah sana sebanyak-banyaknya.

Memang benar ketika Setiajit menyatakan bahwa lahan yang akan dieksploitasi itu adalah lahan perkebunan, namun itu sebagian. Jika eksploitasi itu dilakukan, maka dampak negatifnya secara langsung akan menimpa rakyat, sebagai pemilik sah dan lama bermukim di sana. Rakyat Silo tentu saja menolak punah!

*Fathor Rahman Jm, Warga Silo, Pengurus PCNU Jember, Dosen IAIN Jember dan Santri Ponpes Al-Falah Silo.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *