“Suara Santri untuk Politik Alternatif” Kaum Santri Menyikapi Pemilu 2019
Bismillahirrahmanirrahim
Hari pencoblosan Pemilu tinggal hitungan hari. Namun, kami perlu mengabarkan kepada sahabat-sahabat kami sesama kalangan santri, umat Muslim, dan rakyat Indonesia pada umumnya, bahwa seperti Pemilu 2014, Pemilu 2019 belum menjadi instrumen tegaknya kedaulatan rakyat yang sejati.
Secara umum, hal ini disebabkan karena dua hal:
Pertama, Pemilu 2019 kali ini diisi oleh partai-partai yang didirikan dan/atau disokong oleh oligarki, yaitu para pemodal dan “orang-orang kuat” yang memiliki akses kepada kekuasaan. Kontestasi Pemilu diisi para oligarkh, baik langsung maupun tidak langsung. Dalam situasi ini, rakyat memang dapat menggunakan hak pilihnya untuk memilih . Tapi, pilihan-pilihan yang tersedia telah diseleksi di kalangan oligarkh dan elite. Hal ini dilakukan untuk mencegah kontestan yang memiliki agenda untuk melawan kepentingan oligarki. Tidak ada partai-partai alternatif yang kritis terhadap oligarki dan akumulasi kekayaan para elite.
Partai-partai yang berpartisipasi di Pemilu 2019 kali ini persis menggambarkan apa yang disebut dalam Al-Qur’an (QS. Al-Hasyr: 7) sebagai “دولة بين الأغنياء” (dulatan baynal aghniya’), atau kekuasaan yang beredar di antara orang-orang kaya. Itulah mengapa partai politik saat ini tidak murni menjadi alat perjuangan rakyat, melainkan ajang berburu jabatan, kekayaan, serta membina relasi dengan para pemodal. Pemilu 2019 secara umum, dan Pilpres 2019 secara khusus, terselenggara dalam kondisi tersandera oleh kepentingan para pemodal.
Kedua, pada Pilpres tahun ini, tidak ada capres-cawapres yang memiliki keinginan untuk memutus intervensi lembaga kapitalis global (IMF, Bank Dunia, dan WTO) yang mendesakkan agenda-agenda neoliberal (liberalisasi, privatisasi, dan deregulasi) yang merugikan kalangan petani, buruh, kaum miskin desa dan kota. Sebaliknya, capres-cawapres yang ada terindikasi pro-kebijakan lembaga-lembaga kapitalis global untuk makin meluaskan pengaruhnya di Indonesia. Di bawah pemerintahan Capres 01, kita telah melihat Indonesia menjadi tuan rumah IMF dengan hasil kebijakan-kebijakan merugikan rakyat. Tren ini dipastikan berlanjut jika pasangan 01 terpilih. Di sisi lain, Capres 02 sama sekali juga tidak menolak kehadiran lembaga-lembaga kapitalis global itu, meski kerap beretorika “anti-asing”.
Kedua capres-cawapres juga dikelilingi oleh para pengusaha dan elite yang memanfaatkan sistem neoliberal ini untuk berburu konsesi-konsesi dan izin-izin pertambangan, perkebunan, kehutanan, properti, infrastruktur, dan lain-lain, dengan menggunakan instrumen politik elektoral.
Akibatnya, rakyat digempur dengan investasi, sehingga tren perampasan tanah dan ruang hidup terus meninggi, dengan terjadinya kekerasan, intimidasi, dan kriminalisasi atas petani, masyarakat adat, buruh, aktivis, dan rakyat secara umum. Perusakan lingkungan hidup terus dilakukan oleh korporasi di sektor pertambangan dan industri. Para petani dicekik dengan liberalisasi pertanian dan kebijakan impor. Lahan-lahan petani dan warga menjadi korban proyek infrastruktur (bandara, jalan tol, proyek pembangkit listrik, dan lain-lain). Di tempat lain, buruh dicekik dengan kebijakan upah murah. PHK juga terjadi secara massif. Sementara itu, pengusutan atas pelangggaran HAM berat masa lalu diabaikan, dan penegakan hukum serta pemberantasan korupsi tumpul dan belum efektif.
Saat ini, semakin tampak bahwa Pilpres kali ini bukan hajatan rakyat, tapi hajatan oligarki. Rakyat hanya menjadi penggembira. Tidak ada agenda serius dari kedua kubu untuk menuntaskan persoalan-persoalan di atas. Kemiskinan dan penderitaan rakyat hanya menjadi sebagai komoditas politik. Tak cukup di situ, hoax, politisasi SARA, sampai ujaran kebencian dan persekusi terus direproduksi.
Demi mendulang suara, berbagai cara dilakukan. Kita melihat bagaimana kedua kubu memainkan klaim-klaim dan jargon-jargon yang mempertajam polarisasi dan rivalitas di antara rakyat. Kubu 01 mengklaim Pilpres ini adalah pertarungan antara “Pancasila versus Khilafah”, atau antara “NKRI versus Negara Islam”. Klaim itu dibesar-besarkan, karena kenyataannya tidak sesederhana itu. Basis pendukung kedua kubu nyatanya sama-sama diisi oleh unsur moderat yang mengklaim pro-NKRI maupun Pancasila dari ormas-ormas Islam, seperti NU dan Muhammadiyah. Jargon-jargon ini hanyalah retorika untuk mengalihkan rakyat dari persoalan sehari-hari yang sebenarnya. Hal serupa dilakukan oleh kubu 02 yang mengklaim Pilpres 2019 adalah pertarungan antara “Komunis versus Islam”, “Anti-Islam versus Islam”, atau “Asing versus Pribumi”. Label-label semacam ini merupakan hasutan dan pendangkalan yang membuat ajang Pilpres kali ini makin merosot dan tidak bermutu secara ideologis.
Selain klaim-klaim dan jargon-jargon penuh hasutan, kedua kubu juga memainkan politik identitas dan politik kesalehan simbolik. Salah satu identitas yang paling diperebutkan oleh kedua kubu adalah identitas “Islam” dan “santri”, identitas kami sendiri. Calon 01 menampilkan diri dengan citra “Islam moderat” dengan menggandeng KH Ma’ruf Amin sebagai cawapresnya, melakukan berbagai pendekatan terhadap kalangan santri dengan berbagai kebijakan yang memberi kesan memihak kepentingan kaum santri (Hari Santri Nasional, RUU Pesantren, bantuan ekonomi untuk pesantren, dll.), demikian juga Calon 02 melakukan pendekatan terhadap kalangan santri dengan safarinya ke pondok pesantren dan menampilkan diri dengan citra “Islam moderat” dan citra-citra keagamaan lainnya.
Namun, kami menyadari bahwa citra-citra simbolik di media itu tidak berkorelasi apa-apa dengan perubahan nasib rakyat luas. Sebaliknya, identitas “Islam” dan “santri” kini tampak menjadi komoditas politik bagi oligarki untuk meredam keresahan rakyat dan mengalihkan perhatian dari krisis di tengah kehidupan masyarakat. Kami tidak ingin kaum santri lengah dengan pencitraan dan pendekatan yang dilakukan kedua calon terhadap kaum santri. Kami juga tidak ingin kaum santri hanya dimanjakan oleh kebijakan sektoral yang menguntungkan kaum santri di dalam birokrasi dan panggung simbolik nasional, namun di sisi lain, meminggirkan kelompok-kelompok Islam lainnya di luar unsur santri, serta meminggirkan elemen-elemen rakyat yang ditindas.
Selama Capres 01 menjabat, terbukti minoritas agama didiskriminasi tanpa perlindungan (Syi’ah Sampang, Ahmadiyah, dan lain-lain), politik SARA dengan pasal-pasal “penodaan agama” dibiarkan, represi dan kriminalisasi terhadap buruh dan aktivis meningkat, serta kekerasan di Papua Barat terus terjadi. Data KontraS menyebutkan (19 Oktober 2018), selama 4 tahun pemerintahan Capres 01, terjadi 488 pelanggaran kebebasan beragama. Artinya, tidak ada korelasi yang langsung positif antara naiknya “Islam moderat” dan “santrinisasi elite politik” hari ini dengan fakta di lapangan, yang masih memperlihatkan represi, kekerasan, diskriminasi, bahkan penghancuran lingkungan hidup.
Memperhatikan hal-hal di atas, sebagai respons atas kebuntuan politik elektoral saat ini, kami kaum santri yang mengatasnamakan “Suara Santri untuk Politik Alternatif”, dengan mengacu pada kaidah fikih: درء المفاسد مقدم على جلب المصالح (Dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih / mencegah terjadinya kerusakan-kerusakan lebih diprioritaskan daripada memperoleh kemaslahatan atau keuntungan),
1] Menyatakan untuk tidak menggunakan hak pilih dalam perhelatan Pilpres 2019;
2] Menyeru kepada semua kalangan, khususnya kaum santri, untuk meningkatkan kepedulian dan solidaritas dengan sebagian besar rakyat yang masih terpinggirkan dan ditindas oleh sistem ekonomi-politik hari ini;
3] Menyatakan menolak politisasi Islam dan identitas kaum santri untuk kepentingan oligarki;
4] Menyeru kepada semua kalangan untuk bergabung mewujudkan kekuatan politik alternatif, yang terdiri dari kekuatan masyarakat sipil yang independen dan non-oligarkis, untuk mengembalikan khittah kebangsaan kita ke rel demokrasi sejati yang mengabdi kepada kepentingan rakyat tertindas (al-mustadl’afin fil ardl).
Wabillahittaufiq.
Suara Santri untuk Politik Alternatif
Surabaya, 15 April 2019
Kami yang menyatakan sikap:
1] Muhammad Al-Fayyadl (alumnus Ponpes Ciganjur dan Annuqayah Sumenep)
2] Roy Murtadho (alumnus Ponpes Tebuireng Jombang)
3] In’amul Mushoffa (alumnus Ponpes Raudlatul Muta’allimin Sidoarjo)
4] Defit Ismail (alumnus Ponpes Darul Mubtadi’in)
5] Moh Mizan Asrori (alumnus Ponpes Annuqayah Sumenep)
6] M. Muslich (alumnus Ponpes Tebuireng Jombang)
7] Nuzulia Istiningsih (alumnus Ponpes Al-Urwatul Wutsqo Jombang)
8] Angga Muhammad Farhan (alumnus Ponpes Al-Hasyimiyah Tangerang)
9] Ari Jerfatin (alumnus Ponpes Al-Ikhlas Tual)
10] Zainal Rahman Welliken (alumnus Ponpes Darul Muchlisin Pangkep)
11] Muh Yudha Sakti Bur (alumnus Ponpes Darul Muchlisin Pangkep)
12] Fahri Fajar (alumnus Ponpes Darul Muchlisin Pangkep)
13] Sukrianto Kianto (alumnus Ponpes Darul Muchlisin Pangkep)
14] Rendi Jerfatin (alumnus Ponpes Darul Muchlisin Pangkep)
15] Ihsan Abdul Azis (alumnus Ponpes Al-Muzahwirah)
16] Umar Faruq Sumandar (alumnus Ponpes Sumber Mas Ganding)
17] Ilham Fathur Ilmi (alumnus YAPI Beji)
18] Alif Raung Firdaus (alumnus Ponpes Nurul Jadid Probolinggo)
19] Agus Sholeh (alumnus Ponpes Mambaul Hikam Probolinggo)
20] Rizal Abdillah (alumnus Ponpes Darul Falah Bondowoso)
21] Adil Satria Putra (alumnus Ponpes Annur Kalibaru Banyuwangi)
22] Muh Fajar (alumnus Ponpes Nurul Qarnain Sukowono Jember)
23] Salman Adamim (alumnus Ponpes Nurul Jadid Probolinggo)
24] M Husnul Huda (alumnus Ponpes Annuqayah Sumenep)
25] Mufti Muaddib (alumnus Ponpes Al-Makrufiyyah Semarang)
26] Siti Mariam Ulfah (alumnus Ponpes Baitul Hikmah Tasikmalaya)
27] Najib (alumnus PM Darul Hijrah Putra Martapura)
28] Hayyik Ali Muntaha Mansur (alumnus Ponpes Tebuireng Jombang)
29] M Fahrudin Adriyansyah (alumnus Ponpes Mambaul Futuh Jenu Tuban)
30] Fahrur Rozi (alumnus Ponpes Annuqayah Sumenep)
31] Syaiful Anam (alumnus Ponpes Nurul Hidayah Pamekasan)
32] Andi Muh. Galib (alumnus Ponpes Ma’had Hadits Al-Junaidiyah Bone)
33] Marsyudi Na’imulloh (alumnus Ponpes Terpadu Ushuluddin Lampung Selatan)
34] M Rahmat Hidayatullah (alumnus Ponpes Darul Falah Kediri)
35] Muzaqi Rohman (alumnus Ponpes Darut Taqwa Pasuruan)
36] Syawaludin (santri Ponpes Darut Taqwa Pasuruan)
37] Nurcholis (alumnus Ponpes Darut Taqwa Pasuruan)
38] Erwin (alumnus Madrasah Lampa Polewali Mandar)
39] Faisal Basri (alumnus Madrasah Lampa Polewali Mandar)
40] Asy’ari (alumnus Madrasah Lampa Polewali Mandar)
41] Habibi (alumnus Madrasah DDI Nurul Aziz Barobbo)
42] Harsa Wardana (alumnus Ponpes Al-Mawaddah Warahmah Kolaka)
43] Mocammad Anjas (alumnus Ponpes Buntet Cirebon)
44] Tanwirul Hija (alumnus Ponpes Bangil)
45] A. Syatori (alumnus Ponpes Ciganjur)
46] Umi Ma’rufah (alumnus Ma’had Walisongo Semarang)
49] Moch. Roychan Fajar (alumnus Ponpes Annuqoyah Guluk-Guluk Sumenep)
2 thoughts on ““Suara Santri untuk Politik Alternatif” Kaum Santri Menyikapi Pemilu 2019”